Telah lebih dari 12 tahun berlalu seingat Ki Demang, ia telah memutuskan meletakkan jabatan dan urusan militer seiring dengan kejatuhan Sri Rajasa Kertanegara. Ki Demang memutuskan menyingkir dan pergi menyepi di kaki gunung, di wilayah tenggara Singhasari, jauh kepedalaman. Di ujung kejatuhan Dinasti Singhasari, Ki Ragasemangsang yang tatkala itu menjadi salah satu pimpinan unit militer khusus  yang bertugas melindungi Raja Kertanegara dari segala ancaman dan tindakan yang membahayakan. Menjadi tameng hidup bagi raja yang siap sedia melindungi siang dan malam. Di dalam perjalanan karir militernya yang mulai gemilang, tetiba Ki Demang tersingkir dari lingkar kekuasaan, penugasan ke utara oleh raja mengakibatkan ketidaksukaan para Mentri-Mentri atas kiprahnya yang dianggap terlalu sering mempengaruhi Raja Kertanegara secara pribadi. Ki Demang sendiri diperintah secara khusus oleh Kertanegara untuk berada di utara jawa, mengamati alur pelayaran laut utara Jawa hingga ke hulu Sungai Brantas, sekaligus sebagai pengawal dan pemandu tamu-tamu dari kerajaan seberang, kerajaan2 yang bermitra dengan Singhasari kala itu. Selepas pengiriman ekspedisi militer ke Pamalayu, banyak kerajaan-kerajaan mulai dari semenanjung Malaka tunduk dan bersatu dibawah Singhasari. Peran Ki Demang moncer sebagai sosok perwira penghubung para sekutu-sekutu Singhasari.
Singhasari menjadi kerajaan yang besar dan makmur, militernya pun kuat. Hampir tidak ada upaya pemberontakan maupun perang perebutan wilayah yang tidak dimenangkan oleh Singhasari. Meski demikian, bukan berarti singgasana raja tidak ada ancaman. Oleh maksud demikian dibentuklah Kalana Bhayangkara, sebuah pasukan kecil yang kuat dan terdiri dari orang-orang dengan olah keprajuritan  maupun kanuragan istimewa dan setia untuk melindungi Rajasa Kartanegara. Ki Demang adalah satu dari sekian prajurit dengan kemampuan istinewa yang berhasil menapaki karir sehingga menjadi pemimpin pasukan kepercayaan Rajasa ini.
Angan Ki Demang kembali ke masa itu, dengan sedikit menyesal, andai Sang Rajasa Kartanegara memperhatikan laporannya mengenai  banyaknya pasukan asing yang menyelusup masuk dari utara dan masuk ke pedalaman hingga ke wilayah Singhasari kala itu.  Telik sandi dari bermacam-macam wilayah bersliweran, baik dari kerjaaan-kerajaan dibawah lindungan Singhasari maupun bukan, datang silih berganti masuk ke wilayah Singhasari.  Laporan Ki Demang entah bagaimana selalu tidak menjadi perhatian Kertanegara, Sang Rajasa yang kala itu dalam masa kegemaran mendalami tantra, larut dalam ajaran dan bujuk rayu daripada pendeta-pendeta yang diundangnya untuk mengajar. Membuat Sang Rajasa lupa dan abai terhadap serigala-serigala disekelilingnya yang menginginkan kejatuhan tahta Singhasari yang sedang dalam puncak kejayaan. Tahta yang menopangnya sedang menjadi rebutan, mengabaikan banyak pesan juga nasehat dari para pembantu-pembantu setianya.
Sri Rajasa begitu ingin sekali menggapai puncak batinnya sebagai sosok manusia sekaligus raja utama, cita-citanya luhur dalam menggapai persatuan dan kesatuan dari kerajaan-kerajaan di nusantara dalam satu panji kerajaan. Namun, jalan yang dipilih tidak selalu seiring dengan keinginan, pendeta-pendeta dengan ajaran yang membius banyak dikirimkan untuk mengelabui pemikiran sang Rajasa dan juga mengacaukan para Rakryan Patih, mereka ini diantaranya menyaru sebagai pendeta sebagai salah satu pintu masuk untuk dapat menundukkan dengan meracuni pikiran Kartanegara.
Semakin hari, Rajasa semakin disibukkan dengan ritual-ritual agama. Laporan para Rakryan dan juga Mahamantriraja sering tidak didengarkan secara seksama. Mulai muncul banyak desas-desus dari kalangan dalam istana dan beredar ke rakyat tentang akan adanya gejolak prahara kerajaan Singhasari. Hingga akhir kejatuhannya, dimana Sang Rajasa terbunuh oleh kudeta yang disusun lama dengan sangat rapi, membuat Sang Rajasa terbunuh dengan amat tragis tanpa ada pengawal utama yang sanggup melindunginya. Â Ki Demang sendiri berada jauh di utara kala mendengar kabar terbunuhnya Kertanegara.
Beberapa saat sambil menunggu jawaban kesanggupan Ki Demang, kedua prajurit Majapahit tersebut berjalan-jalan di seputar padepokan, menghilangkan penat sejenak sebelum balik kembali ke kotaraja. Di satu sudut pelataran pedepokan, kedua prajurit itu hentikan langkah, nampak beberapa murid padepokan sedang berlatih olah silat. Gerakan mereka membentuk sebuah formasi serang sekaligus bertahan, bagai sekelompok burung kuntul yang ringan bergerak kesana kemari dan terbang saling menyambar.
Lima orang berhadapan laiknya musuh dengan tiga orang, dengan formasi seperti sayap burung siap menyerang , sedang satunya membentuk perisai perlindungan. Lima orang mengurung sedemikin rupa, tusukan, gejuk kaki, engkling saling beradu. Seperti kala burung kuntul yang ramai terbang menyambar --nyambar makanannya di sungai maupun sawah. Saling bergantian menyerang sekaligus bertahan, membentuk satu kurungan serangan yang sangat rapat dan sulit ditembus.
Sebuah gumam mengalihkan perhatian kedua prajurit itu, sambil menjura tanda hormat kepada Ki Demang  Ragasemangsang yang tiba2 dibelakang menyusul mereka berdua.
"gladi silat burung kuntul ini baru kami lihat begiu banyak gerakannya Ki Demang" ujar salah seorang caraka yang berpangkat bekel, terlihat dari tanda pangkat keprajuritan yang melekat pada setagen yang dikenakannya.
"formasi gerak yang kami pelajari saat olah keprajuritan tidak sebanyak yang kami saksikan hari ini", lanjutnya.
Ki Demang menjawab, "Dari mulai Bhayangkara dibentuk, yang salah satu tugas utamanya adalah melindungi sang Raja, mengharuskan menempel ketat dan erat. Seperti burung kuntul, yang terbang berbaris dalam satu formasi nan indah. Melayang di udara maupun saat berburu makanan didarat, semua dilakukan secara bersama, saling mengisi dan saling melindungi. Kecepatan dan kekuatan akan kebersamaan burung Kuntul menjadi bekal mutlak bagi Bhayangkara dalam menjalankan tugasnya.