Pada satu pagi buta selepas ayam jantan berkokok, kembali nampak kelebat dua bayangan saling beradu silat. Bergerak cepat, menyambar-nyambar, saling serang dan sekaligus bertahan. Meski hanya dengan tangan kosong, bunyi cuitan gerak penuh tenaga terdengar riuh membelah udara sepagi itu.
Dengan tenang, Utami gerak hempis ke kiri, membiarkan tusukan buku jari tangan lawannya melewati bidang kosong. Sasaran tadi mengarah pada ulu hatinya, setelah serangan lewat, Utami membalas dengan lepasan tangan kirinya menampar kearah mata penyerang. Sambil mengangkat kaki satu, kelebat gerakannya nampak halus dan ringan, tapi penuh tenaga.
Reflek si penyerang melakukan gerak mundur selangkah, tidak menyangka kibasan tangan Utami deras seperti melecut keras ke arah matanya, jika sepersekian detik gerak reflek tak menghindar, bisa dipastikan akan fatal akibatnya. Dengan menggunakan tumpuan satu kaki, penyerang melontarkan tendangan ke depan tepat menyongsong Utami beringsut gerak melayang  melanjutkan serangan pukulan tangan kanan ke ulu hati lawan yang terbuka.
Gelagat si penyerang melakukan tendang lurus ke depan dan keras langsung ke tubuh Utami, yang disambut oleh Utami dengan melingkar sambil mengegos ke kanan, kembali menolak tendangan dengan pergelangan tangan, sekaligus melecutkan tusuk kuntul dengan buku jari yang terkepal kedalam untuk menusuk ke arah mata lawan.
Penyerang yang sudah kepalang tangung langsung memutar badan dan ia kemudian menabrakkan diri dengan posisi kepalan dua tangan atas dan bawah menyerang, deras penuh tenaga menyasar ke seluruh tubuh Utami. Utami yang tidak memperhitungkan serang balas kali ini, memaksanya lompat engkling guna menjauhi jangkauan serangan yang deras itu. Dengan begitu ringan, Utami mendaratkan kakinya, tidak menapak penuh, masih berjinjit sambil mengangkat kaki satunya, menunggu dan langsung menghitung jarak dan menebak pola serangan selanjutnya.
"Cukup!" sebuah teriakan kecil menyudahi latihan serang balas pagi itu.
Kedua pesilat mematuhi suara tersebut, mengingat latihan serang balas kali ini cukup menguras tenaga Utami dan Ratri lain dari biasanya. Baru selesai saling memberi hormat, tanda usai berlatih, terlihat dalam pandangan mereka hadir dua sosok tergopoh-gopoh memasuki padepokan.
Melihat dari pakaian yang dikenakan, sepertinya mereka berdua ini prajurit Majapahit. Tidak biasanya utusan majapahit hadir dan berkunjung tanpa memberi tanda kabar. Ada apa gerangan mereka sepagi ini mendatangi Padepokan? Urusan penting kerajaan? Atau?
...
Ki Demang Ragasemangsang baru saja selesai hening dalam bilik samadhi padepokan kala Utami masuk dan memberi kabar dua orang prajurit caraka Majapahit bertamu. Utami tidak menjelaskan maksud dan tujuan kedua caraka yang datang, melihat kedatangannya yang lain dari biasanya serta mendadak seperti nampak membawa pesan sangat penting hingga menuntut Ki Demang untuk segera menjumpai kedua tamu tersebut.
Dengan diiringi langkah Utami, Ki Demang menemui kedua prajurit caraka Majapahit sambil mengira-ira keperluan apakah hingga sepagi ini utusan kerajaan berkunjung ke padepokan. Â Jarak kotaraja ke padepokan sendiri membutuhkan waktu setengah hari berkuda, setelah mempersilahkan kedua tamu prajurit itu duduk dan menikmati hidangan untuk mengurangi penat dan lelah berkuda, Ki Demang Ragasemangsang menyimak maksud dan tujuan yang disampaikan. Sebuah pesan dari Sang Singha, salah satu pejabat tinggi dari pemimpin militer Majapahit disalurkan, Ki Demang diminta hadir segera ke Kotaraja, begitu singkat pesannya sambil menyerahkan lontar pesan kepada Ki Demang.
Menerima sambil memerhatikan dengan seksama isi lontar yang ditulis dengan aksara berserta lambang Bhayangkara, sudah umum dalam kalangan militer Majapahit menyalurkan sebuah perintah operasi yang dituliskan dalam lontar dengan kalimat sandi khusus dan dikirimkan oleh para caraka kerajaan. Dengan demikian meyakinkan Ki Demang, bahwasanya pesan hari itu datang langsung dari Sang Singha sendiri, sosok satu dari sekian petinggi militer kerajaaan. Pikiran Ki Demang melayang sesaat, sambil masih menyimak kalimat sandi dalam lontar itu yang artinya keadaan darurat yang akan sedang terjadi di Kerajaan.