Mohon tunggu...
Robby Milana
Robby Milana Mohon Tunggu... -

Saya senang menulis, bercerita, merenung, berdiskusi, mendengarkan apapun, membaca apapun, bercengkrama dengan anak dan isteri, memanage produksi acara televisi, membuat video, minum kopi, merokok, dan terlibat dalam humor. Motto hidup saya: "Saya tidak suka memaksa orang lain untuk suka pada saya."

Selanjutnya

Tutup

Politik

Propaganda

20 November 2016   00:59 Diperbarui: 20 November 2016   02:11 865
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: http://www.wakingtimes.com/

Satu hal yang saya selalu ingat dari dosen ilmu politik saya waktu kuliah S1 dulu adalah ucapannya yang mengatakan, "Jangan pernah berkomitmen pada figur; tapi komitmenlah pada nilai-nilai."

Sebuah kalimat pendek yang ternyata bikin mata batin dan daya kritis saya selalu hidup. Persis alarm kebakaran yang selalu berbunyi setiap ada tanda-tanda bunga api akan menyala. Dan ini asik. Logikanya sederhana: Jika kita komit pada figur atau seseorang, kita bisa saja ditipu oleh penampilannya, bahasanya, atau kharismanya. Namun jika komit pada nilai-nilai, kita akan terus mendeteksi seseorang berdasarkan tolak ukur apakah seseorang menyimpang atau tidak dari nilai-nilai, misalnya dari nilai keadilan, kesejahteraan atau kesamaan. Jika ada seseorang yang saat kampanye berteriak, "Pilih saya! Saya akan mensejahterakan rakyat,"  tapi di lapangan dia korup....maka sudah bisa kita deteksi bahwa dia berbohong dengan ucapannya.  

Dari satu kalimat itu saja kita bisa menjadi warga yang sangat kritis terhadap para elit atau politisi. Terlebih lagi jika kita memahami sebuah hal yang cukup mendasar dalam dunia politik, yakni propaganda. Memahami propaganda, berarti memahami "siapa" seseorang, apa tujuannya dalam mencapai posisi tertentu, dan bagaimana resikonya bagi kita sebagai rakyat jika orang itu naik tahta.

Apa Itu Propaganda?

Apa yang dimaksud dengan propaganda? Menurut Leonard W. Dobb, propaganda adalah sebuah usaha sistematis (atau terencana) yang dilakukan oleh pihak tertentu untuk mengontrol pihak lain dengan menggunakan sugesti, rayuan atau pengaruh2.

Dalam propaganda ada proses penyampaian ide, kepercayaan, bahkan doktrin untuk mempengaruhi orang lain agar mendukung kepentingan si pelaku propaganda. Pada kegiatan kampanye politik, propaganda dilakukan biasanya untuk tujuan memenangkan pemilu atau untuk mengalahkan lawan politik.

Propaganda dapat berbentuk ucapan, bahasa tubuh atau tulisan-tulisan di media. Sebagai contoh, Richard Nixon pernah menggunakan propaganda secara halus dan cerdik selama menjadi Presiden Amerika. Saat dia dituduh terlibat dalam kasus Watergate, seringkali dia melakukan perjalanan untuk menyapa orang-orang kecil secara langsung, misalnya dia minum kopi di sebuah counter kecil dan mengobrol ramah dengan pelayannya. Hal tersebut kemudian dipotret dan dipublikasikan untuk mengatakan pd seluruh warga Amerika bahwa Nixon perduli dengan rakyat. Dan karena dia perduli dengan rakyat, dia tidak mungkin terlibat dengan kasus Watergate. Kata-kata "rakyat" dan "merakyat" memang seringkali sangat ampuh untuk mempengaruhi pendapat masyarakat pd umumnya.

Kiat Propaganda

Ada dua kiat yang biasa dilakukan suatu pihak agar gagasan atau pengaruh propagandanya dapat terlaksana dengan baik dan mampu mempengaruhi banyak orang, yakni:

Pertama, melakukan Agitasi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), agitasi berarti hasutan. Bentuk agitasi bisa berupa diskusi, debat, pidato atau penyebaran selebaran. Salah satu tujuan agitasi adalah untuk mengacaukan pikiran atau pendapat orang lain agar orang lain se-ide dengan si penyebar hasutan. Biasanya agitasi tidak disertai dengan bukti nyata. Sebagai contoh, pada era sebelum reformasi elit politik tanah air sering melakukan agitasi. Misalnya saat ada kelompok umat Islam menentang kebijakan pemerintah, dengan berapi-api elit politik yang merupakan bagian dari rezim pemerintah mengatakan bahwa kelompok umat Islam itu "anti Pancasila," "anti pembangunan," atau "subversif." 

Kata-kata yang saya berikan tanda petik itu kemudian menjadi kata-kata yang ditakuti masyarakat. Masyarakat takut melakukan demonstrasi karena takut dituduh subversif; masyarakat enggan menyampaikan pendapat secara terbuka karena takut disangka anti pembangunan; dan lain-lain. Tidak heran pada masa ini hak masyarakat untuk menyampaikan pendapat sangat terbatas. Inilah fungsi dari agitasi. Mencuci otak masyarakat secara cerdik agar masyarakat mendukung gagasan pihak tertentu. Karena itu hati-hati jika ada seorang calon Presiden atau Kepala Daerah atau anggota legislatif saat berkampanye bilang, "demi rakyat," "untuk keadilan," "memerangi kemiskinan," dan lain-lain. Kita mesti meneliti dulu apakah kepribadiannya memang sesuai dengan ucapannya itu.

Kedua, menyebarkan Rumor. Dalam KBBI, rumor artinya desas-desus atau gosip atau kabar burung. Dari artinya saja kita sudah paham bahwa informasi yang disebarkan belum tentu benar. Rumor biasanya disebar untuk menyerang rasa ingin tahu masyarakat, menyerang ketakutan masyarakat, menyerang keraguan yang ada di tengah masyarakat, atau menyerang rasa kebencian masyarakat. Biasanya bentuk paling nyata dari penyebaran rumor adalah melalui isu SARA, karena isu tersebut mempunyai muatan sentimen dan ikatan emosional paling kuat di tengah masyarakat. Rumor yang juga sering berhasil adalah melalui isu "pro-rakyat," "keadilan," atau "pemberantasan kemiskinan."

Teknik Propaganda

Melihat sedikit penjelasan di atas, kita mulai meraba bahwa dalam praktiknya propaganda tentu memiliki teknik. Jika dicermati, ada beberapa teknik propaganda yang sering digunakan oleh para pelaku propaganda di lapangan, agar saat menyebarkan gagasan, ajakan, agitasi  atau rumor bisa berhasil. Berikut teknik-teknik propaganda yang saya sarikan dari buku Nurudin, yang berjudul Komunikasi Propaganda:

1. Name Calling

Name calling adalah teknik propaganda dengan memberikan sebuah ide atau panggilan buruk terhadap seseorang atau kelompok lain. Misalnya dengan menggunakan sebutan "provokator," "pengacau," atau dulu sering muncul sebutan "PKI." Saat ada pihak yang mengatakan bahwa kelompok lain merupakan "pengacau," maka pihak tersebut berharap dia/mereka mendapat dukungan dari rakyat terhadap idenya untuk menentang kelompok lain tadi. Presiden Amerika beberapa waktu lalu sering menggunakan istilah "teroris" untuk kelompok-kelompok Islam yang berseberangan dengan kebijakannya. Tidak jelas benar apakah kelompok Islam itu teroris betulan atau bukan, yang pasti Presiden AS berharap rakyat AS dan masyaraat dunia mendukungnya. Saat Presiden AS menggunakan sebutan "teroris" kepada kelompok Islam tertentu, maka ia sedang melakukan teknik propaganda name calling.

2. Transfer

Transfer merupakan teknik propaganda dengan menggunakan "sesuatu" yang dianggap lebih dihormati oleh banyak orang. Misalnya PDIP selalu menggunakan nama atau pengaruh Soekarno agar dikagumi oleh rakyat Indonesia. Kenyataannya memang sosok PDIP menjadi sangat susah dilepaskan dari figur Soekarno. Teknik transfer juga bisa dilakukan dengan menggunakan simbol-simbol yang berkaitan dengan sesuatu yang dianggap luhur. Misalnya seorang calon Presiden Amerika selalu menggunakan pakaian khas "Paman Sam" atau bendera Amerika saat berkampanye.

3. Plain Folk

Plain Folk adalah teknik propaganda dengan cara memberikan identifikasi (pengenal) terhadap suatu ide. Pada masa Orde Baru, misalnya Golkar pernah menggunakan identifikasi bahwa Soharto adalah "milik rakyat." PDIP menggunakan identifikasi bahwa partainya adalah partai "wong cilik." Sementara PPP mengidentifikasi partainya sebagai satu-satunyanya partai yang mewakili umat Islam. Plain folk biasanya lebih dikenal dengan istilah "basa basi politik."

4. Bandwagon

Bandwagon adalah teknik propaganda dengan menggemborkan kesuksesan yang pernah dicapai seseorang atau sebuah lembaga untuk mencapai kepentingan yang baru. Misalnya Golkar pada masa Orde Baru sering menggemborkan bahwa partainya telah berhasil mensukseskan "pembangunan ekonomi nasional." Tempo hari Presiden SBY menggemborkan bahwa dia berhasil menjadi "bapak perdamaian" di Aceh dan Papua.

5. All Form of Persuations

All form of persuations adalah teknik propaganda yang menggunakan "iming-iming" kepada masyarakat. Dalam pemilu seringkali kita dengar bahwa seorang calon akan memberikan pendidikan gratis, kesempatan kerja, uang satu milyar per-desa, dll, jika dia terpiih. Ini merupakan teknik all form of persuations. Umumnya teknik ini berhasil pada sebuah negara yang tingkat kecerdasan masyarakatnya masih rendah.

Masih banyak teknik propaganda lain. Sementara 5 ini yang dapat saya sampaikan. Artikel pendek ini anggap saja sebagai sebuah informasi atau bagi-bagi pengetahuan yang semoga memiliki manfaat, terutama dalam mengkritisi politik praktis tanah air.

Salam.

Sumber Bacaan:

Nurudin, Komunikasi Propaganda, Remaja Rosdakarya, 2001

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun