Polemik Go-Jek masih lumayan panjang. Mulai aturan dasar hukumnya karenadianggap menyalahi aturan sebab kendaraan pribadi yang di jadikan alattransportasi angkutan umum itu melanggar UU no 22 tahun 2009 tentang lalulintas dan angkutan serta peraturan pelaksanaanya PP no 74 tahun 2014 tentangangkutan jalan.
Ditambah lagi konflik Go Jek dengan angkutan umum di berbagai daerah, mulaiSolo, Medan, Malang, Surabaya dan terakhir Tangerang yang sampai memicu korbanjiwa. Hadirnya Go-Jek di berbagai daerah menimbulkan resistensi karena dianggapmerampas ladang penghasilan para pengemudi angkutan umum.
Tidak hanya itu, perdebatan di tingkatan daerah yang disasar oleh pasarGo-Jek menjadi pertanyaan banyak pihak, seperti apa kontribusi Go-Jek terhadappendapatan daerah, kalau angkutan umum jelas mereka harus bayar pajak perpanjangankendaraan secara berbeda belum tarikan tarikan lainnya dengan dalil pajakdaerah, dan sebagainya. Sementara Go-Jek menggunakan kendaraan plat hitam yangpajaknya ditanggung secara pribadi. Disini pemicu resistensinya.
Sepertinya, Go-Jek sudah mengetahui dan mendata peta konflik itu. Berbagaicara dilakukan untuk meredamnya,dengan target bisa diterima oleh masyarakatluas. Apa siasatnya ? Melalui sepakbola, karena sepakbola menjadi kebanggaanmasyarakat luas, bahkan fanatisme supporter terhadap klub di beberapa daerah,kadang melebihi apapun. Perusahaan pengelola transportasi online itu sepertimemanfaatkan itu.
Terbukti, tanggal 17 Maret 2017, PSSI resmi mengumumkan Liga 1 yg bergulirpertengahan April 2017 itu bakal resmi disponsori Go-Jek. Tentu banyak yangjanggal, jika Go –Jek yang mohon maaf kemampuan dananya patut diragukan meskitelah berdiri sejak tahun 2010.
Sebab kebutuhan kompetisi sangat besar, bayangkan saja jika satu klub akanmendapatkan subsidi 7,5 Miliar dikali 18 klub total 175 Miliar, belum lagikebutuhan penyelenggaraan lainnya seperti perangkat pertandingan,transportasidan akomodasinya. Jika mengacu kepada gelaran TSC 2016 lalu, biaya yang ditelansekitar Rp 375 Miliar.
Dibalik keraguan secara financial Go – Jek selaku sponsor utama Liga 1 mampumemback-up kebutuhan kompetisi.Maka, asumsinya adalah ada udang dibalik batuterkait dipilihnya Go – Jek sebagai sponsor utama. Yakni secara pencitraan,Go-Jek ingin hadir dan diterima di tengah masyarakat yang diwakili oleh klubyang tersebat di Indonesia ini dan untuk meredam konfliknya.
Apalagi kabar burung, nama salah satu Komisaris di PT. Liga Indonesia Baruyang ditunjuk sebagai operator Liga 1 adalah salah satu pemilik saham Go-Jek.Jika demikian, bersiaplah kepada kepada pemilik klub Liga 1 beserta suporternyauntuk berhadap-hadapan dengan pemerintah daerah yang menolak beroperasinyaGo-Jek, dan yang lebih seram lagi berhadapan dengan para pengemudi angkutanumum penolak Go-Jek. Sebab, tidaklah mungkin dana subsidi klub sebesar Rp 7.5Miliar  itu menjadi bagian penting pula upaya klub dan fansnya untukmemproteksi sponsor kompetisi yakni Go-Jek. Semoga Tidak.
Sebab sepakbola itu harus jauh dari konflik dan politisasi persoalanpublic.Sepakbola itu sejatinya mengelola kebanggaan dan prestasi. Mungkin perludipikirkan ulang agar nama Go-Jek boleh jadi sponsor tapi jangan sponsorutamanya. Sebab,ongkos politik dan ongkos sosialnya lebih besar tidak hanyaditanggung oleh PSSI, tapi juga klub dan fansnya. Namun, semua berserah kepadayang memutuskan.Wallohualam Bi Sawab.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H