Baru-baru ini saya menemukan tulisan Edward Simanungkalit. Saya menemukannya di Kompasiana. Artikelnya membahas tentang Sejarah Batak, termasuk Batak Toba, Simalungun, Karo, Pakpak, Mandailing, dan  Angkola. Keenam suku ini sudah biasa disebut orang sebagai suku Batak walaupun beberapa darinya tidak senang disebut sebagai bagian dari Batak. Edward juga menulis tentang mitos Siraja Batak. Saya cukup tertarik dengan orang ini, karena saya juga tertarik dengan sejarah Batak. Mungkin karena kami dari latar belakang yang sama, dari pecinta sejarah. Aku memang mahasiswa jurusan sejarah, sedangkan dia adalah seorang pemerhati sejarah. Begitulah pengakuannya.
Setelah kutemukan namanya di Kompasiana aku mulai mencari namanya di mesin google karena merasa penasaran. Yang kutemukan hanyalah blognya dan aku tidak dapat menemukan identitasnya. Didalam blognya, semua artikelnya bertuliskan tentang Batak. Â Aku mulai membaca artikelnya itu, dan aku sungguh takjub dengan apa yang telah dituliskan. Semuanya ditulis berdasar fakta yang telah ada dan ditulis tidak dengan sembarangan.
Artikelnya yang sudah kubaca kalau tidak salah berjudul Menulis ulang Sejarah Batak. Dimana dia memberikan opini tentang fakta yang telah ada dan saya harus memujinya bahwa dia memang hebat dalam menggali kesejarahan. Terbukti dari banyak sumber yang dia gunakan.Â
Dalam artikelnya tersebut, singkatnya dia ingin supaya sejarah harus ditulis ulang berdasarkan kebenaran. Selama ini sejarah Batak banyak ditulis berdasarkan mitos. Seperti buku dari W.M Hutagalung kalau tidak salah berjudul Turiturian Bangso Batak. Dimana buku ini mengkisahkan bahwa Siraja Batak menjadi nenekmoyang dari suku Toba, Simalungun, Karo, Pakpak, Mandailing, dan Angkola. Sedangkan menurut fakta bahwa hal itu tidak benar. Dari para ahli sejarah maupun arkeologi bahwa si Raja Batak hidup paling lama kira-kira seribu tahun yang lalu. Sementara suku-suku Toba, Simalungun, Karo, Pakpak, Mandailing, dan Angkola sudah ada sebelum seribu tahun yang lalu. Edward berasumsi bahwa buku Wm. Hutagalung tersebut sudah di intervensi oleh bangsa Belanda. Dan yang paling mengesalkan ialah ketika buku itu dijadikan rujukan oleh para penulis si Raja Batak masa kini. Hal inilah yang membuat Edward menekankan agar Searah Batak harus ditulis ulang agar tidak terjadi kesalahpahaman dan kebenaran tetap diketahui orang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H