Dewasa ini corak perpolitik Indonesia seolah bentangan benang kusut di tanah khatulistiwa yang tak berarah, dan tak menentu, melalui kacamata analisis kegiatan setup media negara ini seperti terjerembab dalam permainan teater politik yang selalu menjadi topeng demokrasi, seakan semakin menjauh dari ke aktualan nilai-nilai politik dalam mensejahtrakan rakyat.Â
Pada hakikat nya drama politik adalah drama perebutan dan memertahankan kekuasaan (power), kebsahan (legitimasi), dan kewenangan (authority) (Sulaiman, 2010).Â
Hal-hal tersebut dapat dengan mudah di dapatkan dengan kekuatan media pada zaman sekrang, itulah mengapa para aktor politik mencari citra nya masing-masing dan saling berubut ruang, lalu mencipta ruang berbasis media nya masing-masing.
Ruang-ruang media tidak lagi memproduksi informasi-infomrasi yang membangun nan objektif tetapi lebih penggirangan isu semata demi mengangkat elektabilitas para actor politik, dan beberapa pegiat media tak lagi berada ditengah-tengah masyarakat sebagaimana mestinya, tetapi beberapa oknum media sudah menjelma menjadi politisi-politisi dibelakang layar yang siap bergeliya dalam perpolitikan diruang media.Â
Bagi pharr penipu merupakan partisipan aktif dalam proses politik, yang kemudian dalam media label penipu menunjukan suatu hal yang positif, yaitu mncerminkan prilaku media yang penuh dengan kebaikan (pharr & Krauss, 1966).
Kajian media dalam politik di negara berkembang cenderung dikaitkan dengan dominasi dan hegemoni kekuasaan, dimana object media digunakan sebagai suatu propaganda kepentingan untuk melestarikan idologi golongan tertentu (hegemoni).
Bagi Gramsci, konsep hegomoni merupakan jalan terbaik dalam gerilya politik nya dan dapat dilakukan melalui dominasi (simon, 2004), dia berpendapat bahwa hegomoni dari kelas dominan dijalankan dalam masyarakat sipil dengan mengajak kelas-kelas yang berada dibawah (subordinate classes) untuk menerima nilai-nilai dan gagasan-gagasan yang telah diambil oleh kelas yang dominan itu sendiri, dan dengan membangun jaringan kerja sama yang didasarkan atas nilai-nilai tersebut.Â
Media merupakan salah satu sarana paling efektif  dalam penuaian gagasan sehingga pada saat nya masyarakat terhegemoni.
Ketika Media Berpolitik
Menyoal tentang pemilu 2019 lalu, keadaan sosial yang tampak di permukaan kala itu sarat dengan intrik politik, berbagai isu dan kepentingan terdahulu hangat diperbincangkan bak kue yang dikukus dalam oven, isu korupsi, sara, ekonomi, masih sangat hangat diperbincangkan menjadi dagelan politik kala itu, jika tak ada isu sosial yang tepat maka isu apapun dapat di pelintir dan digoreng sedemikian rupa dengan kekuatan kuasa media.
Sebutan 'cebong' dan 'kampret' misalnya sebagai julukan pendukung masing-masing kontestan calon presiden pada tahun 2019 lalu menjadi viral dalam dunia maya dan bahkan tendensi gejala sosial ini berdampak dalam permukaan kehidupan sosial, para masyarakat simpatisan yang sudah terhegemoni justru saling sulut emosi dalam realitas sosial, ini menjadi bukti bahwa kala itu media secara tidak sadar telah mengkerdilkan manusia, dan pilpres kala itu seharusnya menjadi ujung tombak pesta demokrasi di negeri ini, tetapi realita nya telah dinodai dengan tendensi politik yang mencederai yang bermuara dalam media yang anarki.
Media yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam informasi yang membangun dan menjadi pengendali kebijakan pemerintah, justru menjelma menjadi media yang berpolitik serta menyudutkan salah satu sektoral dengan dalih propaganda berita yang disajikannya, hal ini perlu disadari bahwa drama politik di media massa sebagai bentuk perlombaan mencapai pencitraan di atas panggung politik semata sebagai wilayah terdepan, dimana khalayak tidak mengetahui realitas sebenarnya dipanggung belakang (Sulaiman, 2010). karena pada dasarnya beberapa media dikuasai dan dikendalikan oleh salah satu sektor aktor politik.
Bukti bahwa drama politik dalam agenda setting dan propaganda media, yaitu hampir sepanjang tahun 2019 drama politik berlangsung baik skala nasional maupun tingkat regional yaitu melalui panggung pemilihan umum (pemilu) legislative, pemilihan Presiden (Pilpres) dan di daerah dengan panggung pemilihan kepala daerah nya (pilkada).Â
Kemudian drama politik lainnya yang menghebohkan jagad media kala itu yaitu tentang 2 kalimat yang dilontarkan oleh kedua pasangan capres yaitu "politisi sontoloyo" dan "tampang boyolali" kedua kata ini menuai polemik ditengah-tengah jagad media yang mengakibatkan senjata makan tuan yang terus-terusan digoreng oleh lawan politik nya sehingga membuat suasana politik di Indonesia kala itu terkesan tidak elegan, tak lupa juga sebutan masing-masing simpatisan "cebong" dan "kampret" yang menjadi kata fenomenal kala itu di tranding media-media sosial bahkan hingga akhir pemilu pun masih sangat ramai diperbincangkan.
Keadaan ini justru sangat memperihatinkan bagaimana dengan mudahnya para aktor politik mereduksi subtansi informasi melalui media sosial yang membuat media tak kian sehat, lalu yang lebih parah lagi ketika media menggiring ruang-ruang politik pada ruang pribadi,dan  membawa ruang elite ke ruang publik hal inilah yang membuat realitas media dan realitas sosial makin sembraut.
Bijak Berpolitik dan Bermedia
Hidup di tengah-tengah kultur politik dan media modern seperti ini, memang sikap "bijak" dibutuhkan dan mempunyai peranan penting dalam tatanan kehidupan, caknun pernah berkata dalam forum maiyah nya bahwa, politik diciptakan dan dimanifestasikan berdasarkan filosofi dan tujuan untuk menyediakan kebahagiaan dan kesejtahraan bagi manusia.
Perkataan caknun secara eksplisit menympaikan bahwa tujuan politik itu untuk "kesejahtaraan dan kebahagiaan", oleh karena nya di tengah-tengah kehidupan modern ini media seyogyanya dapat menjadi alat dan sarana guna mencapai kesejahtraan dan kebahgian tersebut, bukan malah menjadi bias informasi dan menyesatkan yang mengakibatkan sulutan emosi lalu konflik.
Secara yuridis tugas dan peran media dalam masayarakat sebenar nya sudah diatur secara gamblang hal ini termaktub dalam (Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, 2020) bahwa pers nasioanl berperan menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong. terwujudnya supremasi hukum, dan hak asasi manusia (HAM), serta menghormati kebhinekaan, tetapi penerapan nya dalam kultur politik sakhir-akhir ini media cenderung sebagai alat propaganda politik demi legitimasi dan eksistensi semata tanpa memperhatikan nilai-nilai ke objektifan nya, hal ini kemudian perlu adanya kesadaan dalam diri kita masing-masing bahwa segala bentuk aktifitas yang kita lakukan terutama perpolitikan dan media harus sesuai nilai-nilai kebhinekaan dan sarat akan ke objektifan sehingga nilai-nilai kebhinekaan tak kian tergerus oleh kebodohan dan kemodernan zaman.
Media dan politik hakikat nya memiliki hubungan kausalitas yang kuat dan tak akan pernah bisa dipisahkan, karena media mempunyai fungsi sebagai kekuatan kontrol sosial dikala memang terjadi ketidakpastian keadilan, dan para pelaku politik sangat membutuhkan hal ini guna merumuskan dan menganalisis rancang bangun perpolitikan nya demi mewujudkan cita-cita kesajahtraan rakyat, oleh karena nya diperlukan nya media sebagai kontrol sosial mengahadirkan opini dan informasi-informasi yang sehat dan objektif, sehingga media dan politik memiliki hubungan yang sehat dan saling mendukung satu sama lain.
Negara Indonesia saat ini telah menginjak usia ke-73 tahun, maka dengan usia Indonesia yang telah dewasa dan tak lagi muda sudah seyogya  nya politisi dan rakyat nya mempunyai kesadaran dan tanggung jawab atas apa yang akan dan telah dilakukan nya, dalam hal ini mungkin kita sama-sama enggan untuk dibutakan dan dipermainakan oleh kegiatan politik atau kampanye sesaat yang memiliki dampak buruk hanya demi kepentingan kelompok golongan sektoral semata lalu menghalalkan berbagai cara hingga menimbulkan konflik antar bangsa, budaya, dan bahkan agama.Â
Meminjam perkataan seorang jurnalis sekaligus presenter mba Najwa Shihab bahwa bagi rakyat, politik bukan urusan koalisi atau oposisi tetapi bagaimana kebijakan publik mengubah hidup sehari-hari, ya frasa "kesejahtraan dan "kebahagiaan" terkandung secara implisit dalam perkataan mba nana ini, tetapi ksejahtraan tak akan pernah dapat tercapai jika pada masing-masing rakyat dan politisi nya tak tertanam kesadaran atas persatuan dan kesatuan, maka mari sama-sama menghadirkan kultur media dan politik yang lebih sehat, objektif  dan membangun bukan demi kalian, bukan demi mereka tapi demi KITA.
DAFTAR PUSTAKA
pharr, & Krauss, e. S. (1966). Media and politics in Japa. Honolulu: University of Hawaii press.
simon, r. (2004). gagasan-gagasan poitik Gramsci. Yogyakarta: INSIST, Pustaka Pelajar.
Sulaiman, A. I. (2010). Dilema Elite Politik dan Kekuatan Media Massa. Mimbar, 116.
Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. (2020, Maret 22). Retrieved from hukum unsra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H