Setiap manusia punya hak membuat pilihan, termasuk berambut panjang dan cara berpakaian. Sekolah ini ingin mengajarkan siswa membuat pilihan, dan bertanggung jawab atas hal itu. Bukan tanpa aturan, tapi kebijakan dilakukan untuk membangun budaya disiplin tanpa paksaan.
Kutipan caption postingan akun facebook Sunardian Wirodono tertanggal 30 Oktober 2016 yang di sertai foto anak SMA. Bukan anak SMA biasa, melainkan SMA Kolese De Britto di Yogyakarta yang cara berpenampilannya eksentrik. Bagaimana tidak, sekolah yang hanya menerima murid laki-laki itu memperbolehkan siswanya berambut gondrong dan juga siswa dibebaskan memakai seragam dengan gaya masing-masing kecuali pada hari senin. Postingan yang sempat membuat viral media sosial beberapa waktu lalu mengangkat nama dan pamor sekolah ini.
Coba anda bayangkan ada sekolah yang diisi oleh murid laki-laki semua, berambut gondrong dan walaupun masih diwajibkan memakai seragam namun cara berpakaian seragam sekolah sesuai selera siswa masing-masing. Yang ada di banyangan kita mungkin seperti sekolah yang ada di film terkenal asal Jepang berjudul “Crows Zero”. Sekolah yang diisi anak-anak berandalan yang sukanya tawuran dan cari masalah dengan sekolah lain. Atau mungkin pembelajaran yang tak mungkin kondusif melihat keadaan seperti itu.
Pepatah “jangan melihat orang dari penampilannya” sepertinya mampu dibuktikan oleh siswa-siswa dari SMA Kolese De Britto ini. Bukan sembarang siswa yang dapat mendaftar di De Britto. Nilai rata-rata Ujian Nasional siswa yang di bawah 8 kemungkinan besar sulit untuk masuk sekolah ini. Rata-rata siswa di sekolah ini memang pintar-pintar dan tidak suka berbuat onar seperti persepsi orang kebanyakan. Di samping itu sekolah ini juga memiliki sebuah program unik bernama Live in Profesi. Mirip seperti PSG (Pendidikan Sistem Ganda) di ranah SMK dan PKL (Praktik Kerja Lapangan) di ranah kampus. Bedanya, program ini mewajibkan siswa kelas 12 menjalani magang sesuai dengan minat dan bakat masing-masing.
Sekolah ini tidak mengedepankan pendidikan yang mengekang dan membuat siswa seakan dipaksa. Mengapa harus melarang suatu hal yang bahkan tak berpengaruh signifikan dalam proses pembelajaran, semacam gaya rambut. Budaya disiplin sengaja ditanamkan atas diri masing-masing siswa, bagaimana mereka mempertanggungjawabkan pilihan yang telah dibuat. Mereka berpenampilan sangar namun tidak mengabaikan status dirinya sebagai pelajar.
Kerennya lagi, walaupun sekolah ini adalah sekolah yang didirikan oleh pemuka agama Kristen namun sekolah ini berbasis umum. Banyak sekali siswa-siswa non Kristen seperti siswa Islam yang bersekolah di sini, rata-rata banyak yang dari suku Jawa dan China. Mereka hidup rukun berdampingan tanpa ada “gesekan-gesekan”.
Awalnya sekolah ini saat pertama didirikan pada tahun 1948 sama seperti sekolah-sekolah biasa dengan peraturan yang mengekang siswa. Namun seiring berjalannya waktu, tepatnya pada tahun 1960an sekolah membebaskan siswanya untuk menggunakan baju bebas dan bahkan boleh memakai sarung dan sandal jepit. Dikarenakan pada masa itu Indonesia sedang mengalami krisis perekonomian. Untuk menanggulangi siswanya putus sekolah, akhirnya pihak sekolah membebaskan siswanya dalam hal berseragam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H