Mohon tunggu...
Robby Febrianto
Robby Febrianto Mohon Tunggu... -

lulusan arsitektur yang sekarang bergelut dengan desain interior, suka fotografi tapi masih belum jadi fotografer..

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Rumput (Tetangga)

18 Juli 2016   13:57 Diperbarui: 18 Juli 2016   14:31 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Betapa hijaunya rumput tetangga.

Tetangga, yang bahkan dekatpun tidak.

Tetangga, yang bahkan kenalpun tidak.

Hanya tetangga yang kita tahu dari cerita-cerita antah berantah.

Hijau, subur dan sedap dipandang mata, dari kisah yang berhembus terbawa angin syahwat.

Bahkan sebagian dari kita sampai memuja-muja hamparan rumput itu.

Bahwa itu adalah satu-satunya rumput Tuhan yang suci dan indah.

Tapi betapa butanya kita.

Rumput sendiri terbengkalai.

Enggan untuk merawat.

Bahkan sampai berak di atas hamparan rumput rumah sendiri.

Di halaman depan rumah kita.

Namun..

rumput itu tetap tumbuh dan berjuang hidup.

Tapi kita adalah kita yang seperti saat ini.

jadilah dia rumput (yang kita) hina dan nista.

(Yang kita do'akan agar) Tuhan pun akan dan terus melaknatnya.

Tapi tunggu dulu!!!

Bukankah rumput hina itu ada di rumah kita sendiri?!

Di halaman depan rumah kita sendiri?!

Menghujat halaman rumah sendiri yang notabene adalah etalase kepribadian diri.

Dan kemudian berharap rumput tetangga tadi akan hadir di halaman kita.

Akan tumbuh subur di halaman depan kita.

Padahal...

Kondisi tanah berbeda.

Letak geografis berbeda.

Jenis rumputnya-pun berbeda.

Dan kita lupa bagaimana perjuangan tetangga kita.

Bagaimana mereka berjuang untuk menumbuhkan.

Bagaimana mereka berjuang untuk merawat.

Bagaimana mereka berjuang untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya.

Bagaimana menyesuaikan keadaan yang terjadi terhadap kondisi mereka.

Hijau yang mereka tunjukkan yang diairi darah dan air mata bertahun-tahun.

Dan kitapun Lupa diri dan enggan berbenah.

Mental serba instan yang dibungkus dengan pembenaran semu.

Pembenaran atas nama Tuhan, yang jelas-jelas Tuhan pun enggan membenarkannya.

Menganggap rumput tetangga itu yang suci dan pasti benar di mata Tuhan.

Bahkan menuhankan makhluk ciptaan Tuhan.

Dasar Baper!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun