Mohon tunggu...
Robby Anugerah
Robby Anugerah Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Sejarawan. Penikmat Sastra. Tertarik Pada Analisis Wacana dan Historiografi Indonesia. Blog saya: http://rabianbulan.blogspot.co.id

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Jogja Library Center; Diabaikan di Tengah Keramaian

28 September 2015   10:48 Diperbarui: 28 September 2015   13:49 854
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Siapa sangka, Malioboro yang begitu terkenal sebagai tempat wisata belanja dan sejarah terselip sebuah perpustakaan. Berikut ceritanya.

****

Pagi itu (21/9/15) langit Jogja cerah. Saya dan seorang teman memacu sepeda motor dari Jalan Kaliurang menuju Malioboro. Sama seperti dua hari lalu, saya masih tidak percaya ada perpustakaan di Malioboro. Empat tahun hilir-mudik, entah sekedar jalan-jalan atau menemani kerabat berbelanja, tak pernah sekalipun nampak perpustakaan di jalan itu.

“Entar kamu buktikan sendiri deh!” kata teman saya, mulai kesal.

Kami akhirnya tiba. Saya memarkirkan motor tepat di depan Inna Garuda. Lalu segera mencari-cari di mana perpustakaan itu. “Tuh!” tunjuk teman saya. Seketika saya terpelongok. Kok di sana? Di mana-mana perpustakaan itu luas. Ada areal parkir. Nggak nyempil dan nyampur dengan lapak para pedagang dan himpitan ruko.

“Kamu yakin itu perpustakaan?” tanya saya, syok.

“Baca noh! L-I-B-R-A-R-Y.”

“Apa bisa khusyuk, baca di tempat itu?”

“Percaya deh!”

[caption caption="Muka Jogja Library Center. Sekilas, orang tidak akan tahu bila ini adalah perpustakaan."][/caption]Kami masuk. Mengisi daftar tamu. Salah seorang petugas, seperti sudah paham, lalu menyerahkan kunci brankas (bilik penyimpanan). Saya amati sekeliling. Terlihat ornamen-ornamen lama dan buku-buku tua.

Perpustakaan terdiri dua lantai. Saya tertarik menyusuri lantai pertama terlebih dahulu. Ada yang unik di lantai pertama ini, yakni ruang baca lesehan yang tepat di tengah-tengah ruangan. Belum pernah saya melihat perpustakaan menyediakan ruang baca lesehan sebelumnya. Maka itu, ini terbilang unik menurut saya. Saya mencoba duduk-duduk di lesehan tersebut. Lumayan enak dan hangat; karena memang lantainya bukan terbuat dari keramik, melainkan kayu pelituran.

[caption caption="Lantai satu."]

[/caption]

[caption caption="Di samping bilik penyimpanan, tersedia lemari multicharger. Jadi tak usah cemas bila lupa membawa charger."]

[/caption]

Di samping kiri-kanan lesehan, terdapat rak yang berisi koleksi majalah-majalah lama. Mulai dari Gatra, Kartini, Intisari, Femina, Mobilmotor, Tempo, dan jurnal-jurnal ekonomi-sains. Rerata majalah ini telah dikeliping (disatukan) berdasarkan tahunnya. Saya mengambil keliping majalah Femina tahun 1978 sebagai salah satu contoh. Benar saja, saya langsung menemukan edisi keduabelas bulan majalah tersebut.

Ternyata bukan sekedar majalah lama, majalah baru pun ada. Tapi letaknya bukan di rak, melainkan di sebuah meja panjang. Mulai dari National Geograpic Indonesia (NGI), Traveler, Formula, Home, Profit, dll. Mata saya seketika berbinar-binar melihat NGI. Ini majalah kesukaan saya. Dulu, tahun 2012, saya dan teman-teman kos pernah berlangganan selama satu tahun. Sedikit banyak, tulisan saya terpengaruh NGI.

Nah, bagaimana Koran? Perpustakaan ini paling komplet menyediakan koran-koran lama dan baru. Saya pikir, kita tidak perlu lagi ke Perpustakaan Nasional. Cukup pergi ke perpustakaan ini saja (bagi yang berdomisili di Jogja). Mau koran lama Nasional seperti Kompas, Tempo, Harian Umum: ada. Atau Lokal seperti Kedaulatan Rakyat (KR), Bernas, Yogya Post (sudah gulung tikar), Suara Merdeka: semuanya ada. Tahun-tahunnya pun variatif mulai dari 1945 hingga sekarang. Sedang koran baru: seperti Kompas, Kedaulatan Rakyat, Harian Jogja, Tribun Jogja, Suara Merdeka, Sindo, Jawa Pos, hingga Jakarta Post; mereka update tiap hari. Koleksi ini tersedia di lantai satu.

[caption caption="Deretan majalah dan koran-koran baru."]

[/caption]

Koran digital? Eh, ternyata juga ada. Saya mencoba mengakses di salah satu komputer yang tersedia (masih di lantai satu; tapi di ruang berbeda). Cukup mengklik direktori D atau E, akan terlihat semua. Cuma sayang, untuk saat ini koran KR saja yang tersedia. Tahunnya pun loncat-loncat. Dan kadang dalam satu edisi tahun, ada beberapa bulan yang nihil. Bagi peneliti, saran saya, lebih baik bongkar koran cetaknya saja, lebih komplit, karena telah tersusun dalam satu bundel.

[caption caption="Deretan komputer disediakan untuk mengakses koran lama digital."]

[/caption]

Setelah sedikit bosan, teman saya berbisik, “Lantai dua yok!”

“Hayuk!”

Kami menuju tangga.

“Ih, tangganya unik,” kata saya, sumringah.

“Iya, kayak kembali ke zaman Londo.”

Di lantai dua, ruangnya lebih luas (tanpa sekat seperti di lantai pertama). Meja dan kursi pun bertebaran. Hal unik di lantai dua ini, yakni adanya kamar diskusi. Kamar ini lumayan besar; dapat memuat empat orang di dalamnya. Saya coba masuki. Dan ternyata nyaman dan sejuk. Bahkan, di dalam kamar ini terdapat lagi kamar baca. Tapi kayaknya khusus satu orang, karena saya hanya melihat satu kursi saja di sana.

Lalu saya memeriksa koleksi buku di lantai dua ini. Koleksi bukunya cukup bermutu. Kalau sedang ingin mencari referensi yang menyangkut Jogja, baiknya ke sini saja. Apalagi tempat ini masih banyak yang belum mengetahui. Sehingga keheningannya masih terjaga. Saat mengisi daftar tamu, saya amati rata-rata pengunjung hanya 15 orang saja yang datang perhari. Sedikit, kan?

[caption caption="Tangga retro."]

[/caption]

[caption caption="Lantai dua."]

[/caption]

[caption caption="Kamar diskusi."]

[/caption]

[caption caption="Kursi di kamar diskusi lumayan empuk."]

[/caption]

[caption caption="Kamar baca."]

[/caption]

Allahuakbar! Allahuakbar! Tiba-tiba adzan Zuhur berkumandang.

“Sholat di mana kita?” tanya teman saya.

“Apakah di sini ada mushollah?”

Teman saya mengangguk.

“Kalau begitu di sini saja! Kita cek Mushollah mereka.”

Kami turun kembali ke lantai satu. Mushollah dan toilet berada di lantai satu; tepat di belakang perpustakaan. Awalnya, saya sempat berkeyakinan bahwa Mushollah dan toiletnya pasti jelek dan berdesign retro. Ternyata tidak! Dugaan saya meleset. Mushollahnya bersih; sangat terurus. Toiletnya pun modern; pakai kakus duduk.

[caption caption="Toiletnya pakai kakus modern."]

[/caption]

“Tadi ruang apa?” tanya saya, seusai sholat.

“Yang mana? Sebelum ke mushollah ini? Oh itu, Kyoto Book Corner.”

“Apa isinya?”

All about Kyoto.”

Saya kemudian melihat-lihat. Betul, ternyata isinya all about Kyoto. Di salah satu rak, saya tertarik pada satu tabloid, Koreana (Nah, kok nyempil tentang Korea). Tak dinyana, di dalamnya terdapat cerpen pengarang Korea, Lee Hyun-suu. Ceritanya bagus. Beruntung sekali saya membacanya.

[caption caption="Lemari tua."]

[/caption]

Tanpa terasa, saya sudah menghabiskan waktu empat jam. Betul-betul cepat untuk tempat sesejuk, sehening, dan sekhidmat ini. Saya berjanji akan kembali lagi. Bahkan, untuk hari-hari berikutnya.

Saat hendak mengambil ransel dari brankas, salah satu petugas menyapa dan menyodorkan angket.

“Bisa isi ini sebentar?” mohonnya, sambil tersenyum.

Saya mengambil angket itu dan mengisinya. Semua centrang baik saya coret pada angket itu. Dia pun mengucapkan banyak terima kasih, lalu memberi sedikit bingkisan kepada kami.

“Lho, apa ini Bu?”

“Cinderamata,” jawabnya.

Asyik! Padahal baru pertama kali saya ke sini, tapi langsung dikasih hadiah oleh mereka. Betul-betul beruntung. Sudah dapat ilmu, dapat hadiah pula. Hehe… Lain kali, mainlah ke sini! Saya ada di sana tiap Senin, Rabu, dan Kamis. Kalau bertemu, jangan ragu menyapa.

--End--

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun