[caption caption="Diambil dari http://festivalfilmleri.net/resimler/in-the-mood-for-love.jpg"][/caption]
Mungkin lagi sesuai suasana hati, dua minggu terakhir film-film yang saya tonton lebih banyak bertema roman. Mulai dari Age of Adeline (2015), Sideways (2004), Lust, Caution (2004), 2046 (2004), Two Lovers (2014), hingga In the Mood for Love (2000). Khusus judul film terakhir, saya terkesan. Bahkan, sampai sekarang, alur ceritanya masih melekat di kepala saya.
Apa bagusnya In the Mood for Love?
Pertama, tema yang diangkat. Film ini memang bercerita tentang perselingkuhan, tetapi itu bukan pokok. Yang dititikberatkan adalah kehidupan sehari-hari yang ‘rapat’ di Hongkong era 60-an. Sebuah keluarga, bila mereka memiliki kamar kosong, bisa menyewakan kamarnya itu kepada sebuah keluarga lagi. Jadi, dalam satu apartemen (bukan rumah ya…) tinggal sebuah keluarga yang di dalamnya ada keluarga lagi. Pusing, bukan? Nah, itulah yang terjadi di Hongkong era 60-an. Populasi mereka meledak. Sehingga memengaruhi fomasi tempat huni mereka.
Kedua, pintar memainkan imaji. Tokoh sentral dalam film ini adalah Mr. Chow dan Mrs. Chan. Masing-masing telah memiliki keluarga. Suatu hari, mereka memutuskan mencari kamar baru. Mereka mendapati informasi bahwa ada sebuah kamar yang cocok untuk ditinggali. Sayangnya, Mrs. Chan lebih dulu datang dan membuat kesepakatan kepada pemilik kamar. Sehingga tatkala Mr. Chow menanyakan kamar itu, si pemilik kamar mengatakan bahwa wanita muda yang turun barusan telah menyewanya. Karena Mr. Chow adalah pria sopan, pemilik kamar itu menyarankan untuk menanyai tetangganya di sebelah. Tetangga itu baru saja melepas anaknya yang merantau ke Taiwan. Kemungkinan kamar itu kosong sekarang. Dan, benar Mr. Chow akhirnya mendapati kamar itu.
Proses pindahan pun dilakukan. Naasnya, mereka melakukan pindahan di waktu yang sama. Sehingga tatkala barang-barang mereka dinaikkan para kuli, barang-barang itu sering kali tertukar. Mr. Chow dan Mrs. Chan tertawa geli. Sejak itu mereka akrab.
Kehidupan mereka berjalan sebagaimana umumnya. Berpapasan, say hallo. Melihat barang baru yang dibawa suami Mrs. Chan yang bekerja di Jepang, ikut pula memesan. Dll. Sampai timbul kecurigaan bahwa barang-barang yang mereka kenakan banyak kemiripannya (dasi dan tas). Mr. Chow dan Mrs. Chan pun menganalisis: jangan-jangan, masing-masing pasang mereka telah berselingkuh.
Nah, uniknya di sini. Selama film berlangsung, si sutradara tidak sekalipun memperlihatkan wajah pasangan dari Mr. Chow dan Mrs. Chan. Paling hanya suara dan penampakkan rambut mereka. Jadi, kita tidak tahu bagaimana rupa mereka? Dan, sulit untuk memastikan apakah mereka berselingkuh? Petunjuk satu-satunya hanya kesamaan beberapa pakaian seperti dasi dan tas yang dihadiahi masing-masing pasangan. Inilah yang saya sebut, si sutradara membiarkan penonton berimaji sendiri. Menganalisis sendiri. Benar atau tidak? Atau akal-akalan mereka karena sama-sama kesepian?
Ketiga, memiliki ending yang mengecewakan. Loh? Kok ending mengecewakan dibilang bagus. Inilah uniknya film ini. Ending mengecewakan yang dibuat sang sutradara dalam komposisi pas. Jarang ada film kayak begini. Tontonlah!
Keempat, suara latar dalam film ini “gimana-gimana gitu”. Jadi gemez.