Mendengar pintu ruangannya diketuk tiga kali, Jenderal Amashita lekas menjawab: Masuk! Ia tahu, itu perwiranya yang hendak melaporkan kemajuan brigadenya di wilayah timur. Setelah menerima salam hormat dari dua perwira itu─dengan menghentakkan sedikit dagunya─ia menyilakan keduanya duduk pada kursi yang tidak terlalu mewah tapi cukup nyaman diduduki siapa pun.
“Siapa temanmu satu ini?” tanyanya sedikit heran, tapi berusaha bersikap wajar agar perwira bekulit gelap nyaris seperti pribumi─bahkan ia tahu bahwa perwira itu memang pribumi─tidak merasa takut.
“Jangan khawatir Jenderal,” terang perwira satunya yang berpangkat kolonel dan sudah mengenal betul Jenderal Amashita. “Ia teman kita. Ia bernama SS. Sejauh ini, ia berkontribusi besar dalam pengamanan wilayah tengah. Saya membawanya ke sini agar ia mendapat sedikit pelajaran dari Jenderal.”
Jenderal Amashita memonyongkan bibir. Ia lalu mengeluarkan wiski beserta gelas kecil dari laci meja dan menghidangkan kepada dua perwira itu. “Wiski Amerika!” selorohnya membuang kesan kaku dan mulai mengarahkan pokok pembicaraan tetapi dengan gaya santai. “Apa laporanmu?”
Perwira berpangkat kolonel itu meletakkan berkas di meja sang jenderal, “Laporan baik dan laporan buruk.”
“Laporan baik dulu.”
“Seorang politikus pribumi yang cukup memiliki pengaruh menyatakan ketertarikannya untuk bekerja sama dengan kita. Dan dia siap menemui Jenderal kapan pun. Asal, pertemuan itu dilakukan secara tertutup.”
“Bagus!”
“Apa yang Jenderal rencanakan?”
“Tidak banyak. Kita beri orang ini kedudukan sebagai dewan penasihat dalam pemerintahan. Niscaya segala sesuatu yang berurusan mengenai masalah-masalah pribumi, beres. Dalam situasi yang serba dituntut cepat ini, kita tidak perlu menghabiskan banyak tenaga untuk mengurusi masalah-masalah pribumi. Cukup temukan saja kepalanya, lalu kontrol. Berikutnya?”
“Ini laporan buruk.”
“Sampaikan!”
“Kita belum sepenuhnya menguasai wilayah timur. Sisa-sisa serdadu Belanda yang loyal enggan melucuti senjata mereka dan masih melakukan perlawanan.”
“Sungguh laporan yang sulit kuterima! Kenapa kita gagal menghabisi sisa! Aku akan menghubungi Laksamana Hashimoto untuk menambah batalion.”
Jenderal Amashita kemudian mengangkat gagang telepon dan memutar-mutar nomor. Akan tetapi, barulah dia akan bicara pada Laksamana Hashimoto di seberang sana, ia menangkap sesuatu dari bola mata perwiranya. Ia meletakkan lagi gagang telepon itu dan menebak.
“Wanita? Kalian perlu wanita, kan?” kata Jenderal Amashita merasa yakin tebakannya tidak meleset.
Perwira itu mengangguk.
“Baiklah, keluar dari ruangan ini suruh Kolonel Shinzo menemuiku segera. Dia tahu yang mesti dilakukan.”
“Siap Jenderal!”
“Pikiran pria memang rumit! Mereka akan hilang semangat juangnya bila kekurangan wanita,” gerutu Jenderal Amashita sambil melirik perwira SS. “Kau harus catat itu.”
****
Wajahnya mendadak merah menyala seperti besi panas yang baru diangkat setelah mengetahui kain putih yang dijadikan seprai di malam pertamanya tidak bernoda setitik pun. Ia seakan tidak percaya bahwa Marni─gadis mungil berkulit hitam manis yang baru dipersuntingnya itu─tidak perawan. Terbayang sudah seluruh uang yang ia habiskan untuk memikat Marni bila sesuatu yang berharga itu gagal dicicipinya sebagai pertama.
“Perempuan sundal! Kau menipuku,” hardik Moenir melempar kain putih tak bernoda itu ke muka Marni.
“Ampuni saya Kakang,” kata Marni sambil terisak. “Saya tidak bermaksud─”
“Halah! Aku tak mau mendengar omong kosongmu lagi!” sergah Moenir. “Sekali sundal tetaplah sundal! Enyah kau!”
Mendengar pengusiran itu, Marni bukannya pergi malah meraih kaki Moenir dan merapatkan kepalanya di kedua lutut Moenir.
“Ampuni saya Kakang.”
“Pergi!”
Marni semakin mengencangkan lipatan tangannya di kaki Moenir. Tapi sekuat tenaga pula Moenir melepasnya.
“Pergi kataku! Mulai detik ini kau kutalak!”
“Jangan Kakang!” tangis Marni kian kencang sehingga membangunkan seisi rumah.
Tak lama kemudian, Tuan Kasmidji, ayah Moenir, datang dan mencoba melerai pertengkaran mereka. Ia tidak paham, kenapa sepasang muda-mudi yang baru saja melangsungkan pernikahan tiba-tiba ribut di malam pertama. Tuan Kasmidji mengetuk pintu kamar anaknya.
“Aku menyesal Abah! Aku menyesal!” Moenir histeris setelah membuka pintu kamarnya. “Perempuan sundal ini ternyata menipuku. Ia─,” Moenir tersedak.
“Ia kenapa?”
“Ia tidak perawan.”
Kedua bola mata Tuan Kasmidji sontak menyala-nyala bagai bara api. Ia mendelik Marni tajam. Dasar palacur, batinnya. Ia lalu mendekati Marni dan menyeretnya ke luar rumah.
****
Wajahnya seketika kuyu setelah diberitahu bahwa mereka harus masuk hutan untuk menghindari kejaran para serdadu Belanda. Kalau boleh memilih, ia lebih suka berperang dan gugur segera ketimbang meringkuk di hutan berbulan-bulan. Tapi ia akhirnya berpikir rasional: perintah adalah perintah, sepahit apa pun perintah itu atau bertentangan dengan kemauannya, ia wajib mengikuti. Lagi pula sang kolonel, SS, sejauh ini memiliki catatan bagus tiap pertempuran.
Ia menenteng senapannya di pundak sambil tiada henti waspada terhadap daerah yang mereka lalui. Hutan memang aman untuk menghindari ancaman Belanda, namun bukan berarti terhindari dari ancaman baru.
“Samidi! Awas macan!” seru seorang rekannya tiba-tiba.
Tanpa tahu di mana sebetulnya persis posisi macan itu, ia menghamburkan peluru ke sembarang arah. Beruntung rekan-rekannya sigap. Bila tidak, satu di antara mereka pasti terkena pelurunya.
“Kena ora?” tanya Samidi tanpa merasa berdosa.
“Kena ndasmu! Wong macannya nggak ada!”
Sontak rekan-rekannya tertawa riuh. Mereka berhasil menjahilinya lagi. Entah untuk ke berapa kalinya. Seakan ia adalah hiburan satu-satunya bagi mereka.
“Hentikan tawa kalian!” teriak sang kolonel tiba-tiba memecah keriuhan pasukan. “Samidi! Kemari kamu!”
Tanpa perlu diperintah dua kali, ia menghadap sang kolonel.
“Kau paham amunisi kita terbatas?”
“Siap-paham Kolonel!”
“Lalu apa yang kau lakukan tadi?”
“Maafkan saya Kolonel!” Samidi merundukkan kepala, menunjukkan penyesalan sekaligus geram karena terus dijahili.
“Kau sudah berkawin?”
“Siap-sudah Kolonel!”
“Berapa anakmu?”
Samidi diam.
“Kenapa? Barangmu kurang nendang?”
Mendengar olok-olok itu, rekan-rekan Samidi serta merta kembali tertawa riuh. Kali ini, bahkan ada yang terpingkal-pingkal hingga celananya basah.
“Bukan begitu Kolonel! Saya,” katanya gelagapan, “belum lama ini berkawin. Sudah barang tentu belum dikarunia anak.”
“Pantas!” kata sang kolonel yang masih menatap Samidi laksana raja menatap prajuritnya, “otakmu beku begitu. Pengantin baru rupanya. Samidi! Sudah berapa kali kau ngeloco bulan ini?”
Muka Samidi berubah merah.
“Kenapa? Malu?” Sang kolonel kemudian memanggil Toemiran. “Toemiran! Berapa kali kau ngeloco bulan ini?”
“Sudah tidak terhitung Kolonel!”
“Kamu Pardjo?” Sang kolonel menujuk Pardjo yang tepat berdiri di samping Toemiran.
“Sekitar sepuluh kali Kolonel!”
“Nah, kamu?” pertanyaan itu kembali lagi pada Samidi.
“Saya tidak melakukan itu Kolonel.”
Jawaban Samidi yang polos itu, tanpa disangka, membuat rekan-rekannya kembali tertawa riuh. “Samidi oh Samidi, sudah saatnya kau perlu kehangatan wanita.”
****
Ibunya sering kali memperingatkan untuk tidak meninggalkan rumah selama revolusi bergolak. Bukan karena ingin membatasi pergaulannya, melainkan mencegah hal buruk yang sewaktu-waktu dapat menimpanya dalam situasi yang tak menentu saat itu. Ibunya memang mendukung para pejuang untuk tetap mempertahankan kemerdekaan pasca kumandang proklamasi di Jakarta. Tapi di sisi lain, ibunya tidak mengerti negara apa yang sedang diperjuangkan itu. Makanya, pejuang dan penjajah bagi ibunya membingungkan.
“Kau tetaplah di rumah. Ibu akan keluar sebentar. Barusan Pak Karjo bilang di balai desa sedang ada pasar dadakan. Barangkali ada sesuatu yang dapat kita beli di sana. Sejak merdeka, kebutuhan pokok bukan bertambah mudah, malah makin sulit didapatkan.”
Marni mengangguk. Ia melepas ibunya ke muka pintu, lalu menutup kembali pintu itu rapat-rapat. Belum lama ia meringkuk di dalam rumah, suara desis dari balik jendela hinggap di telinganya. Ia menyibak jendela.
“Kali ini aku ndak ikut,” tegas Marni seakan sudah tahu prihal kedatangan Cempaka.
“Kau akan menyesal. Banyak pemuda tampan di sana. Mereka para pejuang. Ayo cepat ganti pakaianmu,” bujuk Cempak. “Teman-teman sudah menanti.”
Marni akhirnya terbujuk dan mengganti pakaiaannya. Di pintu masuk desa, mereka bertemu gadis-gadis yang setujuan. Bahkan, ada pula ibu-ibu yang sudah mereka kenal. Pejuang bagaimana pun susahnya, tetap aman bila menyangkut logistik. Para ibu itu tidak pernah lalai memasak dan mengantarkan makanan kepada mereka.
Marni tiba di kemah para pejuang, ternyata tidak sejauh yang dipikirnya. Barangkali para pejuang itu sebentar lagi akan melakukan penyerangan, duganya, sehingga berkemah lebih dekat. Di salah satu sudut tenda milik pejuang, Marni melihat Cempaka telah bersenda gurau dengan seorang pria. Marni tersenyum geli, belum lama mereka di sana, Cempaka sudah menjatuhkan pilihan. Mereka tampak asyik bercengkerama yang kemudian─atas inisiatif sang pria─mereka berpindah ke tempat yang lebih gelap.
Tiba-tiba seorang perempuan paruh baya mendekat, “Bisakah kau antarkan bubur ini kepada Kolonel?”
“Ke mana?” Marni balik bertanya.
Perempuan paruh baya itu menunjuk sebuah tenda. Tenda yang tampak berbeda dari banyak tenda yang ada. Tenda tersebut lebih besar dan bagus. Marni mengerti. Ia lalu mengambil bubur itu dan menuju tenda yang dimaksud.
“Masuk!” kata seorang dari dalam tenda.
“Bubur Anda, Kolonel.”
Sang kolonel mengangguk, kemudian menyuruh Marni meletakkan bubur itu di mejanya. Barulah Marni hendak keluar kembali dari tenda itu, sang kolonel mencegat.
“Tinggallah beberapa saat di sini,” kata sang kolonel sambil memperkenalkan diri bernama SS. “Saya perlu teman bicara. Siapa namamu, Nona?”
“Marni.”
“Marni?” ulang Kolonel SS seakan terkesan. “Kau sungguh beruntung memiliki nama itu. Kau tahu artinya?”
Marni menggelengkan kepala.
“Kemarilah! Saya bisikkan.”
Marni ragu.
“Jangan takut! Kemarilah!”
Marni terbujuk dan pelan-pelan merapatkan daun telinganya di bibir Kolonel SS.
“Marni itu artinya nikmat.” Kolonel mencium pipi Marni, lalu merebahkan tubuh mungilnya itu di atas meja.
“Jangan Kolonel!” Marni memberontak.
“Tenanglah, kau akan merasai kenikmatan sebagaimana namamu.”
“Jangan Kolonel! Jangan! Aaaa!”
****
Tuan Presiden akhirnya menyunggingkan senyuman tatkala seorang sejarawan yang cukup terkenal dan banyak melahirkan karya datang menemuinya di Istana. Ia menyambut sendiri sejarawan tersebut dengan memberikan pelayanan kelas satu seperti tamu-tamu asing yang sering diterimanya. Sambil menyantap makan siang yang menunya bisa dibilang mewah, ia bercerita kepada sejarawan tersebut mengenai permasalahan-permasalahan yang muncul di bumi pertiwi pasca revolusi, terutama gejolak politik dan pemberontakan. Ia khawatir bila permasalah itu tidak segera dibereskan, negara yang baru dinahkodainya bakal karam.
“Maka itu saya mengundangmu,” kata Tuan Presiden. “Sepertinya ada masalah pada nasionalisme kita. Disadari atau tidak, kita telah kehilangan identitas dan kebersamaan untuk membangun negara ini. Padahal, sejarah telah membuktikan bahwa bangsa kita adalah bangsa yang besar. Merdeka bukan karena diberi, melainkan diperjuangkan secara bersama-sama dengan mengorbankan banyak darah. Jadi, saya berharap sekali kepadamu. Tulislah lagi perjuangan itu. Ceritakan kepada mereka mengenai pahlawan-pahlawan yang rela berkorban demi tanah air. Ceritakan kepada mereka betapa tidak menyenangkan dijajah itu, sehingga bila kita tidak memperkuat persatuan bisa jadi penjajah itu datang kembali. Ceritakan dan ceritakan segala hal yang dapat menumbuhkan semangat nasionalisme dan persatuan. Bila perlu, kita buat satu hari untuk merayakannya. Bahkan, mulai kini, saya tak berkeberatan bila ada potret pahlawan dalam lembar uang kertas.”
****
Dia tidak menyangka bertemu Samidi kembali setelah sembilan belas tahun tak berjumpa. Bagi Tumiran, Samidi kini telah banyak berubah, mulai dari berpenampilan, bicara, hingga tingkahnya: tak sekocak dulu. Tumiran berusaha mengingat-ingat kejadian lucu bersama Samidi semasa bergerilya, terutama ngeloco. Kemudian berlanjut perihal mendiang Kolonel SS yang potretnya kini terpampang di lembar uang kertas.
“Andai saja kita tidak menggerayangi gadis-gadis itu,” kenang Tumiran, “saya yakin, kita tidak pernah bisa memenangi pertempuran. Dan Kolonel, potretnya, tidak akan mungkin diabadikan di lembar uang kertas.”
Samidi memalingkan muka, “Jangan berkata begitu.”
“Kenapa?” Tumiran heran. “Toh perbuatan kita itu tidak bisa dianggap sepenuhnya salah. Pasukan sedang jenuh, dan butuh hiburan untuk menaikkan kembali semangat mereka. Lagi pula kita tidak pernah memaksa gadis-gadis itu. Cukup katakan saja bahwa kita bakal menikahi mereka. Maka, dengan mudah kita dapat meniduri mereka sepuasnya. Bukankah begitu yang diajarkan Kolonel?”
Samidi memilih diam.
Kamar Tujuh, 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H