Kurang lebih 7 tahun sudah saya berprofesi sebagai wartawan, baik di media cetak maupun media online. Suka duka menjadi "kuli tinta" sudah saya alami. Mulai dari keliling Indonesia gratis, bertemu dengan pejabat-pejabat dan orang-orang penting di negeri ini, sampai deadline yang tidak mengenal waktu, sampai-sampai harus mengesampingkan urusan pribadi dan keluarga.
Namun kesemuanya ini saya jalani dengan hati yang tulus dan ikhlas karena memang sejak mengambil jurusan ilmu komunikasi di sebuah kampus di pinggiran Jakarta Selatan, saya ingin menjadi wartawan. Dikarenakan dunia wartawan ini sesuai dengan kepribadian saya yang tidak suka dengan kehidupan formal, seperti harus berpakaian rapih, jam kerja yang monoton, bertemu dengan orang yang itu-itu saja dan lainnya.
Sementara menjadi wartawan tidak harus dituntut berpakaian rapih, hanya disaat-saat tertentu saja dituntut rapih. Misalnya ketika harus mewawancarai pejabat-pejabat penting atau acara-acara formal.
Bertemu berbagai kalangan dan juga menjadi peka terhadap lingkungan sekitar juga menjadi alasan saja menekuni profesi wartawan. Dikarenakan ide berita itu bisa muncul dari mana saja. Ditambah menjadi seorang wartawan memiliki ilmu pengetahuan yang luas dan memiliki banyak teman.
Semuanya itu yang membuat saya sulit untuk meninggalkan atau beralih profesi dari dunia wartawan. Padahal sejak pertengahan Januari lalu, saya sudah tidak aktif lagi menjadi wartawan karena hingga saat ini belum menemukan media yang benar-benar pas dengan saya. Baik dari sisi gaji dan lainnya.
Namun kebiasaan-kebiasaan ketika masih aktif menjadi wartawan, seperti sering browsing-browsing berita di internet, menonton berita-berita di televisi, sulit dihilangkan. Bahkan hasrat menulis tidak hilang. Saya tetap menulis saat ini, meski tidak setiap hari. namun menulis hal-hal yang ringan saja. Tidak seperti masih aktif menjadi wartawan, menulis hal-hal yang serius dan benar-benar menguras otak. Terutama menulis yang berbau politik dan hukum.
Gaji wartawan di Indonesia memang masih jauh dari kata layak. Bahkan di daerah ada wartawan yang tidak mendapatkan gaji. Padahal profesi ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat dan juga menjadi pilar ke empat demokrasi. Sehingga menjadi tidak aneh segelintir wartawan harus melanggar kode etik dalam menjalankan tugasnya.
Namun masalah gaji ini seharusnya tidak bisa menjadi suatu alasan bagi wartawan melanggar kode etik profesinya. Bisa diatasi dengan cara kerja sampingan berwiraswasta, menulis buku dan lainnya. Tetapi tidak semua wartawan bisa melakukan itu, maka perusahaan media memang harus menaikan gaji wartawan agar kehidupannya lebih sejahtera. Â
Kembali lagi mengapa saya sulit beralih profesi dari dunia wartawan, karena saya sudah nyaman dengan dunia tulis-menulis ini. Namun saya tidak boleh hanya terpaku pada satu ilmu dan profesi saja. Sebab untuk bertahan hidup dan menjadi manusia yang bermanfaat, tidak cukup hanya menguasai satu ilmu saja. Tetapi harus menguasai banyak ilmu.
Lagi-lagi saya tetap memiliki keinginan dan berharap tetap menjadi wartawan dengan gaji yang layak. Karena menjadi wartawan itu tidak mudah dan memiliki tanggungjawab yang besar. Hal itu pun diakui oleh orangtua saya bahwa menjadi wartawan itu tidak mudah, karena harus mampu mengutamakan kepentingan orang banyak diatas kepentingan pribadi/kelompok.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H