Hukum Pidana (RKUHP) dan Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 (UU KPK).
Presiden Joko Widodo atau Jokowi dinilai tidak konsisten dalam merespons aspirasi publik dalam menyikapi polemik Revisi Kitab Undang-UndangPada 20 September 2019, Presiden Jokowi meminta DPR menunda mengesahkan RKUHP yang sudah direncanakan pada Selasa 24 September mendatang karena derasnya penolakan dari masyarakat.Â
Namun, sikap itu tidak dilakukan saat pengesahan RUU KPK pada 17 September 2019. Hingga Presiden Jokowi juga belum mengambil sikap apakah akan menandatangani UU KPK hasil revisi atau tidak.
Apabila Presiden Jokowi tidak menandatangani hingga 30 hari sejak menerima UU KPK hasil revisi dari DPR, maka UU itu tetap berlaku. "Kalau konsisten untuk merespons aspirasi masyarakat ketika ada suatu RUU yang kemudian dipersoalkan oleh masyarakat ya ditunda juga.Â
Tetapi ini dilaksanakan jalan, ini kemudian ditunda, ini saya kira ada sesuatu yang menarik," ujar ahli hukum pidana Suparji Achmad dalam diskusi  bertajuk 'Mengapa RKUHP Ditunda?' di D'consulate, Menteng, Jakarta, Sabtu (21/9/2019).
Suparji pun mempertanyakan sikap berbeda Presiden Jokowi dalam menyikapi dua RUU yang sama-sama mendapat penolakan keras dari masyarakat. "Ada apa dengan presiden ini, kalau alasannya menyaring aspirasi masyarakat kenapa (RUU) KPK kemarin tidak menunda juga?" katanya.
Menurut Ketua Program Magister Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Al Azhar Indonesia, seharusnya pemerintah mempraktekkan cara bernegara yang elegan.Â
Jika sudah membagas dan mengusulkan untuk menyetujui, mestinya dilanjutkan pembicaraan ini ditingkat ke dua atau dalam sidang Paripurna. "Ini kan usul dari Presiden sudah menyetujui dan membahas selama 15 tahun. Kenapa kau yang mulai  tapi kau yang mengakhiri?," sindirnya.
Disatu sisi, Suparji menyarankan agar Pasal 217-220 dalam RKUHP dihapus dalam rangka merespon aspirasi masyarakat. Pasal 217-220 RKUHP mengatur hukuman terhadap setiap orang yang menyerang harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden.Â
"Karena pasal-pasal tersebut dikritik banyak orang karena dinilai warisan kolonial dan bertentangan dengan putusan MK," katanya.
Dia mengatakan banyak pihak menilai pasal penyerangan harkat dan martabat Presiden/Wakil Presiden dikhawatirkan multi-interpretasi, memasung kebebasan pers, dan dikhawatirkan mudah mempidanakan orang. Pasal-pasal itu dikhawatirkan mempidanakan orang, padahal Presiden adalah pejabat publik dan seharusnya sebagai pejabat sangat wajar kalau dikritik.
Namun, dia menilai sebenarnya pasal 217-220 RKUHP itu tidak akan mengekang kebebasan pers karena Presiden/Wakil Presiden tidak bisa semena-mena melaporkan media massa kalau unsur-unsurnya tidak terpenuhi.Â
Salah satu contoh apabila pers mengkritik kebijakan, menjelaskan suatu persoalan maka Presiden/Wapres tidak bisa menilainya sebagai penghinaan atau penyerangan harkat dan martabat sehingga pers tidak bisa dipidanakan.
Dia juga menilai atas berbagai pertimbangan, pasal-pasal itu diperlukan asalkan pelaksanannya bisa proporsional dan penanganannya profesional dan dilakukan berdasarkan delik aduan.
Berikut bunyi pasal 217-220 RKUHP:
Pasal 217 RKUHP menyebutkan bahwa Setiap Orang yang menyerang diri Presiden atau Wakil Presiden yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana yang lebih berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun.
Pasal 218 ayat (1) Setiap Orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
Pasal 218 ayat (2) menyebutkan tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
Pasal 219 menyebutkan Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4,5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
Dan Pasal 220 ayat (1) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan. Ayat (2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis oleh Presiden atau Wakil Presiden.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H