Apabila nantinya kasus Imam Nahrawi di SP3, Suparji menilai tidak menarik karena proses penegakan hukum dan ada kesan kecurigaan publik mengenai SP3 ini dengan pertimbangan-pertimbangan diluar hukum. "Seharusnya SP3 itu untuk menjamin kepastian dan perlindungan hukum. Lalu agar jelas status hukum seseorang karena status tersangka itu label yang menyedihkan," tuturnya.
Ketua Program Magister Ilmu Hukum Universitas Al Azhar Indonesia ini menegaskan bahwa kriteria dikeluarkannya SP3 harus sesuai dengan norma-norma hukum yang berlaku dan hak asasi manusia. Bukan karena norma politis dan lainnya. "Satu-satu kriteria kasus Imam Nahrawi di SP3 hanya tidak cukup alat bukti. Diluar itu tidak ada," tegasnya.
Suparji menambahkan, KPK nantinya dalam mengeluarkan SP3 tidak mungkin sewenang-wenang. Apabila hal itu dilakukan, maka pasti akan ditempuh mekanisme praperadilan seperti yang diatur dalam KUHAP dan putusan Mahkamah Konstitusi.
Hingga kini Imam Nahrawi belum mengambil sikap untuk membawa kasus penetapan tersangka ke praperadilan. Suparji menyarankan Imam perlu membawanya penetapan tersangkanya ke praperadilan. Hal itu untuk menguji apakah sah penetapan tersangkanya itu. "Tunjukkan saja alat bukti bantahan penetapan tersangkanya tidak sah, karena tidak sesuai ketetapan hukum yang berlaku. Sehingga penetapan tersangkanya bisa dibatalkan" pungkasnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H