"Tetapi KPK justru menggiring. Kalau pelanggaran HAM misalnya personal akhirnya diumbar publik, menghancurkan anak istrinya. Itu jadi dilema," ungkapnya.
Suparji menjelaskan KPK selama ini melakukan penyadapan tidak izin pengadilan, KPK melanggar. Suka-suka saja KPK menyadap. Solusinya sebenarnya bisa melalui UU Penyadapan yang sedang di bahas DPR yang seharusnya di integrasikan dengan UU KPK.
Ketiga, bersinergi dengan penegak hukum lain. Terpadu tidak bisa sendirian. Polisi dapat kasus melimpahkan ke Kejaksaan. Kejaksaan melimpahkan ke pengadilan, pengadilan harus berkordinasi dengan lembaga pemasyarakatan. Kewenangan penyidikan dan penuntutan KPK itu tidak bisa jalan sendiri.Â
"Selama ini belum optimal, sektoral. Yang tidak nampak sinergi dengan kepolisian dan kejaksaan," tuturnya.
Keempat, LHKPN itu sebuah ketentuan yang baik agar fungsi pencegahan jalan. Bersifat kewajiban, jadi KPK harus lebih intensif. Pendataan itu substantif artinya di deteksi. "Perlu diperbaiki sunstansi laporannya. Ketika tidak laporan sanksi hukumnya tidak ada. Pemeriksaan itu harus di konfirmasi secara aktual," katanya.
Kelima, dewan pengawas dipilih presiden dan DPR. Menurut Suparji, belum cukup pengawasan dari DPR karena tidak bersifat memberikan tekanan, artinya beberapa rekomendasi rapat kerja, tidak melaksanakan sanksinya tidak ada. Pengawasan itu banyak menentang birokrasi dan melemahkan semangat pemberantasan korupsi. Sisi positifnya untuk kinerja KPK lebih baik.
Lalu pertanyaannya adalah siapa yang bisa menjamit dewan pengawas itu lebih kredibel, indepeden? Suparji menjawab bahwa mekanisme jabatan publik itu selalu kompromi politik. "Karena diawasi maka kerja lebih profesional, lebih hati-hati. Tetapi itu bisa juga membuat orang malas bekerja," katanya.
Keenam, KPK bisa keluarkan SP3. Suparji mengatakan selama ini beberapa kasus di KPK belarut-larut penanganannya. Misalnya orang jadi tersangka tidak jelas kapan berakhirnya. Menurutnya, itu sebuah pelanggaran. Tidak cukup alat bukti misalnya, tidak bisa dihentikan.Â
"Meskipun selama ini tidak ada SP3, KPK dilakukan diam-diam misalnya kasus skandal Bank Century. Tidak ada kejelasannya, didugat praperadilan dan dimenangkan. Lebih ke arah kepastian," jelasnya.
Dalam perspektif yang pesimis, Suparji menilai SP3 itu cenderung jadi sarana kompromi untuk hentikan perkara. Kekhawatiran itu bisa diantisipasi, begitu keluar SP3 tanpa ada alasan yang jelas, KPK bisa digugat praperadilan. SP3 ini dimungkinkan dengan rambu-rambu yang jelas.Â
"Fakta sesuai KUHAP harus ada 2 alat bukti untuk menetapkan tersangka, kasusnya juga tidak maju-maju," katanya menyesalkan.