Upaya pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus dilakukan oleh berbagai pihak. Setelah 10 nama Calon Pimpinan (Capim) KPK periode 2019-2023 hasil seleksi Panitia Seleksi (Pansel) Capim KPK yang dinilai bermasalah diserahkan Presiden Joko Widodo atau Jokowi ke DPR, kini upaya pelemahan lembaga anti rasuah ini menjalar pada Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (RUU KPK).
RUU KPK yang diusulkan oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR dan masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2019 secara tiba-tiba ini, sudah disetujui melalui Rapat Paripurna DPR kemarin oleh seluruh fraksi. Sementara pengusul atau inisiator pembahasan RUU ini ke Baleg ada 6 orang anggota DPR.Â
Mereka adalah Masinton Pasaribu, Risa Mariska dari Fraksi PDI-P, Taufiqulhadi dari Fraksi Partai Nasdem, Achmad Baidowi dari Fraksi PPP, Saiful Bahri Ruray dari Fraksi Partai Golkar dan Ibnu Multazam dari Fraksi PKB. Mereka semuanya berasal fraksi partai pendukung pemerintah.
RUU ini sebenarnya bukan pertama kali diusulkan. Terakhir pada 2017, pemerintah dan DPR sudah sepakat. Namun karena adanya penolakan dari kalangan masyarakat sipil dan aktivis anti korupsi, RUU KPK ditunda pembahasannya. Ketika itu Presiden Jokowi juga menyatakan sikap bahwa pembahasan RUU KPK ini ditunda. Bukan dibatalkan.
Ahli hukum pidana Universitas Al Azhar Indonesia, Suparji Achmad, mengatakan usulan RUU ini unik diajukan menjelang akhir masa jabatan anggota DPR periode 2014-2019. Padahal RUU KPK ini sudah lama dipersiapkan. Tahap berikutnya RUU ini dibahas bersama pemerintah.
Menurutnya, RUU KPK ini akan mudah proses pembahasannya. Karena materinya sudah di siapkan dari dulu, sehingga sudah ada kesepahaman antar fraksi. Perdebatan kini bersama pemerintah yang memegang kunci, apakah mau ikut membahas atau tidak. Lalu apakah Presiden mengeluarkan surat perintah (supres) untuk mengirim wakilnya untuk pembahasan.
"Jadi kata kuncinya ada juga di Presiden. Jangan salahkan semua kepada DPR, karena DPR memang pemegang legislasi. Tetapi UU itu tidak mungkin dibahas sendirian oleh DPR, tetapi dibahas bersama pemerintah," kata Suparji Achmad di Jakarta, Jumat (6/9/2019).
Suparji memaparkan opsi yang bisa dilakukan Presiden dalam usulan RUU KPK ini. Pertama, tidak ikut membahas dengan tidak mengirimkan wakil pemerintah. Kedua, kondisikan partai politik pendukung Presiden Jokowi untuk tidak membahas RUU KPK.Â
Ketiga, ketika memang terpaksa membahas dan disetujui maka Presiden jangan tanda tangan. Meskipun ketika tidak tanda tangan berdasarkan peraturan perundang-undangan selama 30 hari, dinyatakan berlaku.
" Tapi setidaknya publik bisa menilai Presiden Jokowi sangat sungguh-sungguh konsisten dalam mendukung pemberantasam korupsi. Khususnya dalam penguatan KPK," ujarnya.
Lebih lanjut Suparji mengatakan sangat mungkin terjadi penundaan pembahasan jika Presiden Jokowi mendengar berbagai aspirasi dan konsisten dengan pernyataan sebelumnya untuk memperkuat KPK. Terkait adanya saling lempar pengusul RUU KPK antara DPR, Presiden dan KPK, Suparji meminta agar dibuka ke publik kronologi usulan pembahasan RUU KPK ini bagaimana.