Mohon tunggu...
Robbi Khadafi
Robbi Khadafi Mohon Tunggu... Jurnalis - Tukang Ketik, Sang Pengantar

Kecil disuka muda terkenal tua kaya raya mati masuk surga

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

RKUHP Terancam Batal Disahkan Menjadi UU Tahun Ini

29 Agustus 2019   08:44 Diperbarui: 29 Agustus 2019   10:41 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: ilustrasi RKUHP (hukumonline.com)

DPR dan pemerintah menargetkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dapat diketok/disahkan menjadi UU pada September mendatang atau periode DPR saat ini. Pasalnya, Oktober mendatang anggota DPR periode 2019-2024 dilantik. Namun Komisi III DPR enggan dipaksa-paksa untuk segera mensahkannya menjadi UU.

Perkembangan terkini, terdapat dua pasal yang masih diperdebatkan. Yakni pasal penghinaan presiden dan wakil presiden serta pasal kesusilaan. Apabila kedua pasal itu tidak tercapai kesepakatan maka pembahasan RKUHP akan dilanjutkan DPR periode berikutnya.

Namun Ketua Panitia Kerja (Panja) RKUHP yang juga Wakil Ketua Komisi III DPR, Mulfachri Harahap pernah mengatakan kepada penulis bahwa RKUHP ini harus disahkan menjadi UU pada periode DPR saat ini. Apabila tidak disahkan maka pembahasan RKUHP ini tidak akan selesai-selesai. Pasalnya di DPR tidak ada mekanisme carry over UU. Artinya pembahasan UU diperiode sebelumnya tidak dapat dilanjutkan pada periode DPR yang baru.

Terkait pasal penghinaan presiden dan wakil presiden sulit dihapus karena tak ada penolakan dari DPR maupun pemerintah. Untuk menyiasatinya akan memperbaiki substansi dan rumusan redaksional pasal tersebut. Misalnya substansinya delik aduan agar tidak melanggar putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Sebelumnya MK melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 pernah membatalkan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam KUHP. Permohonan uji materi tersebut diajukan oleh Eggi Sudjana dan Pandapotan Lubis. MK menilai Pasal 134, Pasal 136, dan Pasal 137 KUHP bisa menimbulkan ketidakpastian hukum karena tafsirnya yang amat rentan manipulasi.

Pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden diatur dalam pasal 223 dan 224 draf RKUHP. Dua pasal itu mengancam orang yang menghina presiden dengan hukuman maksimal 3,5 tahun dan 4,5 tahun penjara.

Terkait pasal kesusilaan masih ada perdebatan substansi dari DPR dan elemen masyarakat sipil. Tapi kalau pasal-pasal terkait kontrasepsi yang diributkan, tidak ada masalahnya untuk mengadopsi elemen-elemen masyarakat sipil.

Anggota Komisi III DPR John Kenedy Azis mengatakan pada prinsipnya sudah sepakat antar fraksi terkait pasal-pasal yang belum disepakati. Dalam beberapa hari ke depan pembahasan sudah selesai. "Hari ini atau besok di Hotel Ayana konsinyering," kata John Kenedy saat dihubungi di Jakarta, Kamis (29/8/2019).

Lebih lanjut politisi Partai Golkar ini mengatakan pemerintah juga sudah sepakat terkait kedua pasal tersebut. Namun dia meminta DPR dan pemerintah tidak perlu didesak-desak untuk segera mensahkan RKUHP menjadi UU. Karena memang sudah waktunya RKUHP ini menjadi UU. "TidaK harus cepat dipaksakan," ujarnya.

Meski demikian, DPR dan pemerintah mengupayakan RKUHP ini selesai di periode DPR saat ini. "Diupayakan selesai periode ini. Kami optimis karena DPR dan pemerintah sudah sepakat," katanya.

Ahli hukum pidana Universitas Bina Nusantara, Ahmad Sofian berpandangan pasal penghinaan pada presiden di banyak negara demokrasi bukan meruapakan sebuah delik karena dapat mengancam kebebasan menyampaikan kritik dan kebeabasan menyampaikan pendapat.

Menurutnya, pasal ini juga kerap sekali digunakan penguasa atau rezim untuk mempidana orang-orang yang berseberangan dengan pemerintah, karena itu pasal ini sangat berbahaya dicantumkan dan sebaiknya ditolak oleh masyarakat. "DPR bagian dari kepentingan politik sangat sulit diharapkan menolak pasal ini," kata Ahmad Sofian saat dihubungi terpisah.

Lebih lanjut ia mengatakan opsi kedua adalah merumuskan pasal ini dengan rumusan materiil, artinya suatu penghinaan baru dapat menjadi delik jika menimbulkan akibat yang dilarang dan akibat itu kongkrit bisa diukur dengan ilmu pengetehuan yang murni dan independent. "Dan itu harus diadukan secara langsung oleh presiden bukan oleh element masyarakat," ujarnya.

Sementara itu ahli hukum pidana Universitas Al Azhar Indonesia, Suparji Achmad mengatakan ada perkembangan baik dari pembahasan RKUHP karena ada komitmen bersama untuk menyelesaikannya. Namun masih ada pasal-pasal yang belum dibahas misalnya pasal tindak pidana khusus. Ia juga optimis RKUHP ini disahkan menjadi UU dalam waktu dekat.

Suparji melihat bahwa kedua pasal yang masih diperdebatakan yakni pasal penghinaan presiden dan wakil presiden serta pasal kesusilaan, akan menemui titik temu. Untuk pasal penghinaan presiden/wakil presiden, kata Suparji, sudah ada putusan MK. Dalam KUHP itu delik biasa. Sehingga polisi dapat langsung menindak tanpa aduan.

MK memutuskan bahwa harus delik aduan langsung dari presiden/wakil presiden atau diwakilkan oleh Jaksa Agung sebagai pengacara negara. Itu juga untuk mencegah kesewena-wenangan aparat penegak hukum. Sejatinya siapapun tidak boleh dihina. Apalagi presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.

Atas hal itu Suparji memprediksi tidak akan terjadi perdebatan panjang karena perbedaannya tidak frontal. "Mudah jadi titik temu. Akan bisa diyakinkan untuk diformalisasikan ke KUHP," kata Suparji Achmad saat dihubungi, Kamis (29/8/2019).

Menurut Suparji, masyarakat ingin RKUHP ini sifatnya ke Indonesiaan. Mulai dari agama, adat istiadat, ketimuran dan lainnya. Sehingga pasal kesusilaan seperti mengatur masalah kumpul kebo karena tidak dibenarkan di Indonesia. Namun ia berpendapat bahwa hal ini bisa diatasi dengan delik aduan. Hal ini agar polisi tidak bisa masuk ke ruang private.

Begitu juga keberadaan Lesbian, Gay, Biseksual, Transeksual (LGBT) yng bertentangan dengan Indonesia. Suparji menilai LGBT justifikasi dari hak asasi manusia (HAM) terbantahkan. Pasalnya orang menjadi LGBT itu setelah lahir karena faktor lingkungan. Itu bukan masalah pelanggaran HAM.

Dengan masa kerja anggota DPR periode 2014-2019 yang tinggal satu bulan maka harus dihitung waktu dan kemudian disahkan dan terbuka ruang kritik untuk dibawa ke MK. Pasalnya, apabila RKUHP ini di tunda maka tidak akan selesai. DPR periode berikutnya akan mulai dari awal lagi pembahasannya. Mereka tentu tidak mau. Belum lagi suasana psikologis uga terganggu.

Sebab itu, Suparji meminta RKUHP ini segera disahkan menjadi UU. "Segala kelebihan dan kekurangannya diterima. Kalau ada yang tidak setuju ada ruang untuk mengajukan judical review ke MK," pungkasnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun