Suparji juga berpandangan bahwa hukuman kebiri ini tentunya lebih menjerakan karena potensi untuk melakukan kejahatan serupa menjadi lebih kecil peluangnya dilakukan karena alatnya sudah dikebiri.
"Meskipun perlu juga dipertimbangkan pasca dikebiri karena bisa jera atau mungkin bisa belum jera dan ada dendam dan berbuat lagi," ungkapnya.
IDI menolak menjadi eksekutor hukuman kebiri kata Suparji tidak masalah. Pasalnya bisa dilakukan kedokteran di kepolisian meski memang ini juga dilematis karena IDI menolak. Artinya, belum ada kesepakatan pada saat penyusunan dan ekseskusinya.
Seharusnya kata Suparji hukuman yang lebih layak untuk pelaku pelecehan seksual adalah dibuat sanksi sosial seperti membuat malu yang bersangkutan. Sebab itu, tambah Suparji, harus ada revisi UU Perlindungan Anak untuk mencabut pasal hukuman kebiri.
"Harus ada revisi UU, tapi perlu evaluasi dulu," katanya.
Merampas Hak Konstitusional
Peneliti hukum dan konstitusi Setara Institute, Inggrit Ifani berpandangan hukuman kebiri merupakan hukuman yang merampas hak konstitusional seseorang yang dijamin UUD untuk membentuk keturunan dan melanjutkan keturunan.
"Dengan adanya hukuman ini seseorang tidak mempunyai dorongan seksual ataupun tidak mampu melakukan hubungan seksual, sehingga esensinya merampas jaminan hak tersebut," jelas Inggrit Ifani dalam pesan singkatnya di Jakarta, Senin (26/8/2019).
Menurut Inggrit, kenapa hukuman ini bisa diterapkan karena memang secara konstitusional dibenarkan dilakukan pembatasan ham, dan Mahkamah Konstitusi pun juga membenarkan pembatasan ham melalui putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Kemudian jika pertanyaannya adalah apakah hukuman ini memberi efek jera? Inggrit menyangsikan pengebirian dapat dijadikan sanksi pidana efektif untuk bagi pelaku pencabulan anak.Â
"Menurut saya Pembentuk UU memang harus segera mengesahkan paket UU yang komprehensif untuk mengatasi masalah sosial ini, apalagi korbannya adalah anak," katanya.