Mohon tunggu...
Robbi Khadafi
Robbi Khadafi Mohon Tunggu... Jurnalis - Tukang Ketik, Sang Pengantar

Kecil disuka muda terkenal tua kaya raya mati masuk surga

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Cabut Pasal Hukuman Kebiri pada Pelaku Kejahatan Seksual

26 Agustus 2019   08:40 Diperbarui: 26 Agustus 2019   09:46 489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: iluatrasi hukuman kebiri (grid.id)

Aktivis HAM, sebagian ahli hukum dan tenaga medis tidak setuju pasal kebiri dimasukkan. Namun pemerintah dan DPR ngotot untuk memaksakan masuknya kebiri sebagai salah satu pidana tambahan.

Lebih lanjut dia mengungkapkan bahwa hanya ada beberapa negara yang punya pidana kebiri, kemudian mencabut dan tidak melaksanakan karena protes keras dari aktivisi ham dan tenaga medis. Pasalnya menimbulkan efek samping yang besar bagi orang yang dikebiri dan ketagihan bahkan bisa menimbulkan gagal ginjal.

"Kalau pandangan saya sama dengan pandangsn aktivis ham dan tenaga medis, kebiri itu bukan hukuman tetapi tindakan medis untuk menyembuhkan seseorang atas permintaan orang tersebut bukan karena perintah pengadilan," kata Ahmad Sofian saat dihubungi di Jakarta, Senin (26/8/2019).

Menurutnya, secara doktrin pidana apapaun tidak akan mengurangi tindak pidana, karena faktor untuk mengurangi tindak pidana bukan hukuman yang berat. "Jadi Peraturan Pemerintah yang saat ini digodok harus memasukkan klausula dengan persetujuan terpidana maka kebiri boleh dilakukan," ujarnya.

Dosen hukum pidana Universitas Bina Nusantara ini berpandangan hukuman pidana pokok sesuai dengan norma UU Perlindungan Anak yakni hukuman kebiri itu bagian dari torture atau penyiksaan. Sehingga normanya maksimum 20 tahun atau seumur hidup pidananya. Kemudian tambahannya berupa ganti rugi pada korban.

"Ini hukuman yang lebih bermartabat dibanding kebiri," katanya.

Ahmad Sofian juga meminta sebaiknya perlu dilakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pidana kebiri ini karena bertentangan dengan UUD dan juga hukum internasional, dan hak asasi manusia.

"Seolah-olah masyarakat setuju dengan kebiri, namun jika mereka faham dampaknya pada pelaku pasti masyarakat juga akan bisa memahami tentang seluk beluk kebiri dan mungkin juga menolaknya," pungkasnya.

Ahli hukum pidana Universitas Al Azhar Indonesia, Suparji Achmad, mengatakan hakim dalam memutuskan perkara harus berdasarkan alat bukti dan keyakinan hakim bahwa vonisnya dapat memberikan keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Selain itu vonis juga diharapkan dapat menjerakan dan mengedukasi kepada pelakunya serta mencegah supaya org lain tidak berbuat jahat.

Menurut Suparji, vonis kebiri baru diberikan sekaranf karena kebiri merupakan hukuman tambahan untuk memperberat kepada pelakunya. "Berdasarkan alat bukti dan keyakinan hakim bahwa Aris agar jera diberikan hukuman kebiri maka vonisnya juga berupa kebiri," kata Suparji Achmad saat dihubungi terpisah di Jakarta, Senin (26/8/2019).

Lebih lanjut Suparji mengungkapkan hakim selama ini belum menggunakan hukuman kebiri karena mungkin belum cukup alasan untuk menerapkannya dan dengan hukuman penjara dan denda dianggap sudah cukup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun