Mohon tunggu...
Robbi Khadafi
Robbi Khadafi Mohon Tunggu... Jurnalis - Tukang Ketik, Sang Pengantar

Kecil disuka muda terkenal tua kaya raya mati masuk surga

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Menanti UU KUHP Versi Indonesia

16 Agustus 2019   08:40 Diperbarui: 16 Agustus 2019   09:06 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) nampaknya segera disahkan menjadi Undang-Undang (UU) oleh pemerintah dan DPR. Pemerintah pun akan segera menyerahkan daftar inventaris masalah (DIM) RKUHP kepada DPR pada 26 Agustus 2019.

UU peninggalan kolonial Belanda ini memang sudah tidak sesuai dengan kondisi Indonesia saat ini, sehingga UU ini sangat dibutuhkan dan benar-benar dinanti oleh masyarakat.

RKUHP ini sebenarnya sudah dibahas oleh pemerintah dan DPR sejak lama. Namun kini pembahasannya mengerucut pada tiga isu yakni penghinaan kepada presiden, kejahatan terhadap kesusilaan serta tindak pidana khusus.

Seperti dikutip dari kompas.com, Kamis (15/8/2019), ada 4 perubahan signifikan dalam RKUHP. Pertama, filosofi kolonial diganti dengan filosofi yang bernuansa nasional, Pancasila, HAM, konstitusi, dan sebagainya serta menggunakan prinsip tidak hanya pembalasan semata-mata terhadap korban kejahatan, dan menggunakan ilmu pengetahuan modern.

Kedua, beberapa pidana kejahatan yang tak sesuai dengan kondisi Indonesia saat ini namun masih diatur KUHP bakal dihapus. Ketiga, ketentuan pidana korporasi akan diatur. 

Keempat, sanksi hukum pidana, tindakan, dan sebagainya diatur secara fokus berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan, terminologi, dan sebagainya.

Selain perubahan signifikan, terdapat hal baru dalam RKUHP. Antara lain hakim ketika memutus perkara harus memperhatikan tujuan pemidanaan. Lalu memisahkan tindak pidana menjadi tiga bagian, yakni pidana untuk orang dewasa, anak-anak dan korporasi. Terakhir, hakim punya opsi tidak menjatuhkan pemidanaan tetapi memberikan maaf.

Ketua Panitia Kerja (Panja) RKUHP, Mulfachri Harahap, mengatakan DIM RKUHP dari pemerintah melalui Tim Perumus sudah diserahkan ke DPR sejak lama. Sehingga ia tidak tahu apabila pemerintah akan menyerahkan DIM baru atau lama pada 26 Agustus mendatang.

"Ada yang keliru, DIM RKUHP sudah lama diserahkan ke DPR. Kalau nanti ada DIM lagi saya tidak tahu," kata Mulfachri Harahap saat dihubungi, Kamis (15/8/2019).

Masa jabatan anggota DPR periode 2014-2019 akan berakhir pada Oktober mendatang. Artinya waktu pembahasan hingga disahkannya RKUHP menjadi UU sangat mepet. Namum Mulfachri yang juga Wakil Ketua Komisi III DPR ini optimis dan meyakini RKUHP ini dapat disahkan menjadi UU pada periode DPR saat ini.

"Harus selesai periode saat ini. Kalau tidak maka RKUHP ini tidak akan selesai-selesai. Karena di DPR ini tidak mengenal carry over UU," ujar politisi Partai Amanat Nasional (PAN) ini.

Ahli hukum pidana, Suparji Achmad, menduga yang akan diserahkan pemerintah ke DPR bukan DIM tetapi berupa laporan tertulis terkait perkembangan terbaru RKUHP. Semacam harmonisasi pasal-pasal yang menimbulkan perdebatan di masyarakat.

Apabila pemerintah dan DPR khususnya Panitia Kerja (Panja) RKUHP Komisi III DPR tidak menemui kesepakatan terkait pasal-pasal yang masih diperdebatkan, kata Suparji, maka akan dibawa ke sidang paripurna DPR untuk di voting.

Nampaknya juga, lanjut Suparji, di sidang paripurna DPR nanti tidak akan terjadi perdebatan alot untuk disahkan menjadi UU. "Karena UU ini tidak ada kepentingan politiknya," kata Suparji di Jakarta, Kamis (15/8/2019).

Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Al Azhar Indonesia ini juga memaparkan pasal-pasal yang kemungkinan dipermasalahkan dalam sidang paripurna. Pertama terkait pasal hukuman mati. 

Dalam UU KUHP yang berlaku saat ini, hukuman mati masih yang bersifat selektif. Namun berbagai kalangan ada yang ingin menghapus pasal tersebut karena bertentangan dengan HAM dan juga tidak menimbulkan efek jera.

Suparji menilai hukuman mati masih perlu diatur dalam UU KUHP yang dimasukkan dalam pidana pokok selektif. Misalnya, terpidana diberikan kesempatan untuk perbaiki diri selama 5 tahun. Lalu apabila ada bukti-bukti baru yang dapat meringatkan hukuman, maka hukuman mati bisa berubah menjadi seumur hidup.

Kedua terkait pasal penghinaan terhadap presiden. Menurut Suparji, pasal tersebut harus tetap diatur dalam UU KUHP karena presiden merupakan simbol kepala negara yang perlu dilindungi. Namun deliknya aduan langsung dari presiden atau diwakilkan oleh Jaksa Agung. "Dengan demikian agar presiden tidak sewenang-wenang," katanya.

Ketiga terkait pasal kejahatan terhadap kesusilaan. Suparji mengatakan pasal ini menjadi kontroversi karena dikhawatirkan memasuki ruang privat. Terutama terkait Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender (LGBT), dimana semula pencabulan hanya terjadi antar lawan jenis. Sebab itu pasal ini akan ada sesuatu perlawanan dari pegiat HAM. "Maka norma LGBT harus disebutkan dalam UU KUHP," ujarnya.

Keempat terkait pasal tindak pidana khusus. Suparji mengatakan yang paling krusial masalah tindak pidana korupsi yang tidak perlu di atur dalam KUHP karena sudah ada UU KPK. 

Namun Suparji menilai tindak pidana korupsi harus tetap dimasukkan dalam KUHP karena UU ini kitab yang harus ada sumbernya. Dalam artian UU KUHP ini menjadi sumber atau acuan bagi UU lainnya.

Kelima terkait pasal peralihan. Suparji berpendapat bahwa tidak mudah bagi UU lain untuk disesuaikan dengan UU KUHP. Sebab itu perlu UU khusus yang menyatakan masa peralihan. Misalnya, UU tidak berlaku lagi atau dihapusbkarena sudah diatur dalam UU KUHP baru.

Keenam terkait living law atau hukum adat. Suparji berpandangan hal ini menimbulkan permasalahan legalitas menjadi sesuatu yang tidak legal. Sebab itu perlu ada pembatasan syarat-syarat secara eksplisit tentang semangat hukum.

Yang terpenting dalam pembahasan RKUHP ini kata Suparji adalah kembali pada pemerintah dan DPR mempunyai semangat yang sama untuk mensahkan menjadi UU. Dengan adanya waktu yang tersedia, Suparji meminta dilakukan uji publik agar terbantahkan penilaian-penilaian negatif dalam pembahasan RKUHP ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun