BTP digadang-gadang menjadi menteri di pemerintahan periode kedua Presiden Joko Widodo atau Jokowi.Â
Mantan Gubernur DKI Jakarta yang juga mantan narapidana kasus penodaan agama, Basuki Tjahaja Purnama atauNama BTP pun baru-baru ini juga masuk dalam survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA sebagai calon presiden di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.BTP juga digadang-gadang maju sebagai Wali Kota Surabaya pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2020.Â
Tidak hanya itu. Jabatan publik lain seperti Direktur Utama PT PLN juga digadang-gadang layak dijabat BTP. Hal ini diperdebatkan oleh berbagai kalangan. BTP juga sudah menyatakan bahwa karir politiknya sudah cacat atas kasus yang menjeratnya pada 2016 lalu.
Ketua Program Studi Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Al Azhar Indonesia (UAI), Suparji Achmad menjabarkan masalah di atas dari aspek hukum. Ia menjelaskan, syarat menjadi menteri di atur dalam Pasal 22 Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Dalam pasal itu diatur bahwa menteri tidak boleh dipidana penjara karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih.
Sementara BTP dalam kasus penistaan agama di ancam dua dakwaan alternatif yakni Pasal 156 dan 156A UU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ancaman pidana dalam Pasal 156A yakni 5 tahun. BTP dalam kasus ini dikenai Pasal 156 KUHP dengan tuntutan 1 tahun penjara dengan masa percobaan 2 tahun oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 2017 lalu.
Sehingga menurut Suparji bahwa mantan narapidana seperti BTP tidak bisa menjadi menteri. "Orang yang pernah punya masalah dengan hukum dan dinyatakah bersalah oleh pengadilan yang inkracht, tidak memiliki ruang sebagai pejabat publik," kata Suparji Achmad saat dihubungi di Jakarta, Rabu (7/8/2019).
Untuk jabatan presiden dan wakil presiden, Suparji mengatakan persyaratannya di aturur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pada Pasal 227 huruf (k) menyebutkan salah satu syarat pendaftaran yakni "Surat keterangan dari pengadilan negeri yang menyatakan bahwa setiap bakal calon tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih".
Artinya kata Suparji sama seperti jabatan menteri bahwa mantan narapidana tidak bisa menjadi presiden maupun wakil presiden. Ia juga menekankan bahwa pejabat negara atau pejabat publik merupakan figur yang menjadi inspirasi dan agregasi kepentingan publik. Sebab itu, figur yang dipilih untuk menduduki jabatan itu adalah individu yang paripurna dan sudah selesai dengan masalah pribadinya, sehingga tidak ada masalah privat ke publik.
Indikator figur paripurna yang ia maksud adalah tidak memiliki masalah baik secara etis maupun hukum. "Legitimasi tidak ada masalah hendaknya tidak menjadi justifikasi untuk memarginalisasi aspek etika. Karena sejatinya etika memiliki nilai yang lebih dan sakral dibanding hukum," jelasnya.
Berbeda dengan pencalonan mantan narapidana jadi kepala daerah. Menurut Suparji, dalam UU Pilkada tidak melarang mantan narapidana maju Pilkada. Hal itu juga dipertegas dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 42/PUU-XIII/2015. Namun MK mensyaratkan mantan narapidana tersebut harus secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan narapidana.
"MK telah putuskan itu. Artinya secara hukum, BTP maju tidak ada larangan. Tetapi secara etis tidak pantas maju ketika mantan narapidana menjadi pejabat publik," ujarnya.