Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusulkan mantan narapidana kasus korupsi tidak bisa mencalonkan diri dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2020. Menyusul untuk kedua kalinya Bupati Kudus Muhammad Tamzil terlibat kasus korupsi.
Usulan ini bukan pertama kali digulirkan. Pada 2015, Jumanto warga Dusun Siyem, RT 01 RW 04, Desa Sogaan, Pakuniran, Probolinggo; dan Fathor Rasyid warga Kloposepuluh RT. 020 RW. 005, Desa Kloposepuluh, Sukodono, Sidoarjo, mengajukan judical review Pasal 7 huruf g dan h Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Pasal 7 huruf g berbunyi "Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih"
Pasal 7 huruf h berbunyi "Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap"
Hasilnya MK melalui putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/2015 yang keluar pada Kamis (9/7/2015), mengabulkan dan membolehkan mantan narapidana ikut Pilkada. Namun MK mensyaratkan mantan narapidana tersebut harus secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.
Lalu menjelang Pemilu Serentak 2019 lalu, KPU menerbitkan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 yang berisi melarang mantan napi korupsi maju sebagai calon legislatif. Aturan tersebut pun digugat ke Mahkamah Agung (MA) oleh para mantan narapidana yang nyaleg.
Hasilnya MA mengabulkan dan membolehkan mantan narapidana korupsi, terorisme, narkoba, nyaleg. MA membatalkan PKPU tersebut beracuan pada UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu tidak mengatur mantan narapidana dilarang nyaleg.
Beracuan pada dua putusan di atas, Ketua Program Studi Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Al Azhar Indonesia, Suparji Achmad, menilai wacana yang digulirkan oleh KPU dan KPK tersebut mustahil dilaksanakan. Pasalnya bertentangan dengan konstitusi.
"Tidak mungkin mencegah itu (mantan narapidana dilarang maju Pilkada). Orang akan mengatakan melarang mantan narapidana korupsi maju Pilkada itu sebuah norma yang inkonstitusional," kata Suparji Achmad di Jakarta, Rabu (31/7/3019).
Berbagai kalangan juga mengusulkan larangan mantan narapidana maju Pilkada diatur dengan merevisi UU Pilkada dan juga Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perppu. Suparji menegaskan bahwa hal itu kan sia-sia karena nanti juga akan dimentahkan oleh MK.
Menurut Suparji, melarang mantan narapidana korupsi maju Pilkada itu melanggar hak asasi manusia. Ia beracuan pada Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen ke-IV yang berbunyi "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum".
Rakyat Bisa Cegah
Suparji sepakat mantan narapidana korupsi dilarang maju Pilkada. Hal itu menurutnya dapat dicegah oleh partai politik (parpol) dan rakyat untuk selektif mencalonkan dan memilih kepala daerah.
"Wacana yang lagu lama itu dalam pandangan saya mesti ada larangan. Atau perlu ada proses yang selektif dari parpol dan rakyat memilih yang bersih," ujarnya.
Untuk parpol, Suparji pesimis mau melakukannya. Pasalnya kembali tidak adanya aturan hukum yang melarangnya. Begitu juga adanya pencabutan hak politik, karena dalam KUHP hanya hukuman tambahan dan jangka waktunya paling lama 5 tahun. Jadi hanya rakyat yang bisa mencegahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H