Jadi ini serangan langsung terhadap eksistensi Indonesia sebagai negara hukum. Ditambah lagi, sebagai advokat, pelaku seharusnya mengerti dan paham, bahwa dalam konteks pencarian keadilan, hakim dikonstruksikan sebagai "wakil Tuhan di dunia"
Oleh karenanya setiap putusan pengadilan itu kan ada irah-irahnya berupa "Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".
"Bahkan jika irah-irah tersebut tidak dicantumkan dalam putusan, maka putusannya batal demi hukum sebagaimana diatur dlm Pasal 197 (2) KUHAP," jelasnya.
Arteria juga berharap para hakim diseluruh wilayah NKRI ini tidak terpengaruh dengan kejadian ini, jangan pernah ragu dan takut untuk menerjemahkan rasa keadilan dan pendidikan hukum di masyarakat melalui pertimbangan-pertimbangan hakim dalam putusannya.
"Jaga integritas dan saya mewakafkan diri untuk mengawal proses penegakan hukum ini sampai tuntas. Indonesia negara hukum," katanya.
Arteria mengatakan negara tidak boleh kalah apalagi dikalahkan oleh pengaruh kekuasaan apapun, baik oleh penguasa apalagi pengusaha.
Diharamkan dominasi kekuasaan dengan segala bentuk dan pengertiannya hadir dan bahkan dipertontonkan di ruang persidangan. "Karena jika itu terjadi eksistensi negara hukum akan musnah sekaligus dimulainya kehancuran peradaban kemanusiaan," katanya.
Arteria sekaligus mempersilahkan bagi aparat penegak hukum untuk melakukan penyidikan dan fungsi penegakan hukum terhadap pelaku, juga terhadap organisasi profesi advokat terkait dengan aksi "cow boy" tersebut.
Dan juga kepada Komisi Yudisial untuk mencermati setiap fakta yang hadir dan turut mewarnai sehingga timbul aksi brutal oleh pelaku.
"Ini harus menjadi pembelajaran bagi semua pihak dan pastunya harus menjadi kejadian terakhir yang tidak boleh terulang kembali," harapnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H