Tim gabungan pencari fakta atau TGPF kasus Novel Baswedan sudah menyampaikan hasil penyelidikannya ke publik. Hasilnya pun mengejutkan dan penuh kejanggalan. Hasil yang dimaksud di atas yakni TGPF melakukan penyelidikan tidak berdasarkan fakta. Tetapi hanya berdasarkan analisa semata. Hal ini tidak bisa menjadi acuan untuk mengungkap suatu kasus hukum.
Pakar hukum pidana Universitas Al Azhar Indonesia, Suparji Achmad salah satu yang mempertanyakan dan menemukan kejanggalan dari penyelidikan TGPF.
"Bagaimana mendapatkan fakta tersebut? dari mana sumbernya? sementara pelaku belum ditemukan," kata Suparji saat dihubungi, Kamis (18/7/2019).
TGPF dalam penyelidikannya menduga bahwa balas dendam menjadi motif penyerangan terhadap penyidik senior KPK tersebut.
Menurut Suparji, apabila didasarkan pada analisa maka sumbernya apa dan siapa yang di analisa. Pasalnya, apabila tidak ada pelaku yang diketemukan maka pernyataan adanya motif tersebut bersifat asumtif.
"Otak atik gathuk dalam bahasa jawa," ujarnya.
Dijelaskan Suparji, dalam konteks hukum yang utama di adili adalah perbuatan dari pelaku. Kemudian dilihat ada motif atau niat jahatnya.
"Sesuai dengan nama tim pencari fakta maka seharusnya berdasar fakta. Jika belum ditemukan pelakunya maka motif yang benar juga belum terungkap," jelasnya.
Suparji berpandangan ini memang agak ironi. Bahkan ia menyebut kasus Novel Baswedan ini seperti bahan candaan. Padahal kasus ini merupakan masalah serius dalam pemberantasan korupsi.
"Kalau bercanda juga sesuatu yang menggelikan karena masalah ini jadi candaan," katanya.
Laporan TGPF juga menyebut penggunaan wewenang yang berlebihan membuat Novel Baswedan menjadi musuh sejumlah orang yang berperkara di KPK. Sebab, dari pola serangan kepada Novel diyakini penyerangan berkaitan dengan pekerjaan.
Suparji tidak setuju dengan kecenderungan Novel yang dipersalahkan. "Dalam laporannya diduga ada dendam karena Novel dalam melaksanakan tugas melampui kewenangan. Itu pernyataan yang cenderung menyalahkan Novel," sesalnya.
TGPF dibentuk Kapolri Jenderal Tito Karnavian lewat Surat Keputusan nomor: Sgas/ 3/I/HUK.6.6/2019. Tim yang beranggotakan 65 orang ITU memiliki masa tugas selama enam bulan dan habis pada 7 Juli 2019 lalu.
Dua tahun lebih sudah pihak Kepolisian belum dapat menangkap atau menemukan pelaku penyiraman air keras ke wajah Novel Baswedan.
Tepatnya pada 11 April 2017, saat Novel baru saja menunaikan shalat subuh di Masjid Al Ihsan, dekat rumahnya di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Akibat penyiraman air keras ini, kedua matanya terluka parah.
Kasus penyiraman ini tidak bisa lepas dari kasus yang sedang ditangani Novel, yakni kasus korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP).
Hal itu dibuktikan dari hasil penyelidikan TGPF bahwa terdapat enam kasus high profile dalam penanganan Novel yang diduga bisa menimbulkan serangan balik.
Kasus high profile itu terdiri dari kasus dugaan korupsi kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP); kasus mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar; kasus mantan Sekjen MA Nurhadi; kasus korupsi mantan Bupati Buol Amran Batalipu; dan kasus korupsi Wisma Atlet.
Sementara itu, satu kasus lain tidak ditangani Novel sebagai penyidik KPK tetapi tidak tertutup kemungkinan adanya keterkaitan dengan penyerangan terhadap Novel.
Kasus yang dimaksud ialah penembakan pelaku pencurian sarang burung walet di Bengkulu pada 2004.
Novel ditetapkan sebagai tersangka dugaan penganiayaan terhadap pencuri sarang burung walet saat ia masih bertugas di Polri.
Seperti apa kelanjutan kasus Novel Baswedan ini? Apakah masih menjadi bahan candaan atau serius mengungkap kasus ini? Kita lihat saja.
Apalagi Kapolri akan membentuk tim teknis lapangan untuk mengungkap kasus ini..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H