Belakangan ini saya resah menyambut Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 yang akan dilaksanakan pada 17 April mendatang. Kedua pasangan calon (paslon) yang bertarung dalam pesta demokrasi 5 tahunan ini, Joko Widodo atau Jokowi - KH Ma'ruf Amin dengan nomor urut 1 dan Prabowo Subianto - Sandiaga Uno dengan nomor urut 2, saya nilai belum mampu menawarkan dan meyakinkan saya untuk menggunakan hak pilih saya pada April mendatang.
Belakangan ini juga di berbagai media marak pemberitaan mengenai golongan putih (golput) atau tidak menggunakan hak pilihnya di Pilpres 2019. Gerakan untuk Golput pun mulai di bicarakan oleh warganet.Â
Terutama terkait sikap Presiden Jokowi yang ingin membebaskan tanpa syarat kepada narapidana kasus terorisme Abu Bakar Ba'asyir. Belum lagi terkait debat capres-cawapres Pilpres 2019 yang dinilai banyak kalangan mengecewakan.
Kedua paslon dinilai gagal menyampaikan visi misinya menjadi calon orang nomor satu di Indonesia. Padahal kedua paslon oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah memberikan kisi-kisi pertanyaan yang akan ditanyakan dalam debat perdana tersebut. Yang lebih parah menurut saya, kedua paslon selama masa kampanye tidak menyampaikan visi-misinya dengan baik kepada masyarakat. Mereka lebih sering debat kusir terkait isu-isu terkini dengan menyebarkan berita hoax.
Di media sosial juga muncul adanya paslon ketiga atau capres fiktif Pilpres 2019, yakni Nurhadi - Aldo (Dildo). Terakhir di media sosial terkait bebasnya mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (BTP). Di mana para pendukungnya yang dikenal dengan Ahokers juga mewacanakan Golput di Pilpres 2019. Ahokers kecewa dengan Jokowi memilih cawapresnya KH Ma'ruf Amin, dimana ia menjadi saksi yang memberatkan Ahok ketika di persidangan kasus penistaan agama pada 2016 silam.
Masalah Golput pun selalu muncul setiap pelaksanaan pesta demokrasi di Indonesia maupun di luar negeri. Baik itu dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) maupun Pemilu/Pilpres. Golput di Indonesia cukup besar. Sebagai contoh data Golput pada Pilpres 2014 mencapai 29,8 persen atau 56.732.857 suara. Angka Golput Pilpres 2014 lebih parah dibanding Pilpres 2009 yang hanya mencapai 27,7 persen.
Saya pun semakin bimbang, apakah pada April mendatang menggunakan hak pilih saya atau tidak. Namun saya berusaha mencari informasi untuk meyakinkan diri saya untuk tidak Golput di Pilpres 2019. Hal ini sampai saya diskusikan dengan teman-teman saya di grup WhatsApp (WA). Sampai akhirnya saya dikirimi oleh teman saya di grup WA sebuah artikel yang merubah dan meyakinkan saya bahwa pada Pilpres 2019 tidak Golput.
Dalam artikel yang termuat dalam situs uin-suska.ac.id yang di share oleh teman saya di grup WA itu, terdapat tiga faktor yang membuat seseorang menjadi Golput. Pertama, di dalam undang-undang negara kita ditegaskan bahwa keikutsertaan untuk ikut memilih hanyalah hak bagi warga negara, bukan sebagai kewajiban (Undang-Undang No.10/2008, pasal 19 ayat 1).
Kedua, karena sosok yang terpilih tidak pernah membawa perubahan yang signifikan, bahkan terkesan memperkaya diri sendiri, sehingga memunculkan sifat apatis pada sebagian masyarakat. Ketiga, faktor paham keagamaan. Menurut paham keagamaannya, sistim pemilu ataupun sistem demokrasi bukanlah cara Islami dalam memilih pemimpin. Pemilu menurut mereka adalah sistem thaghut (berhala) yang berasal dari Barat, dan haram untuk ditiru.
Dari faktor yang nomor tiga yakni faktor paham agama di atas yang meyakinkan saya untuk tidak Golput dan Golput di Pilpres 2019 harus dilawan. Pasalnya dalam Islam agama yang saya percayai, memilih pemimpin itu merupakan suatu kewajiban. Bukan suatu hak. Hal itu tercantum dalam Al Quran dan hadist-hadist.
Dalam Al Quran Surat An-Nisa ayat 58, Allah Swt berfirman: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baiknya pemberi pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat."
Menurut Mahmud al-Nasafi di dalam tafsirnya "Tafsir al-Nasafi" mengatakan bahwa perintah di dalam ayat ini adalah perintah wajib untuk menjalankan amanah Allah yang telah dibebankan kepada manusia, dan termasuk juga kewajiban dalam memilih pemimpin.
Selain ayat di atas, Allah juga berfirman:Â "Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya serta para pemimpin di antara kalian...." (QS An-Nisa': 59). Ayat ini menjelaskan hukum wajibnya menaati ulil amri (pemimpin), yaitu orang yang mendapatkan mandat untuk memerintah rakyat.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga sudah mengeluarkan fatwa mengenai kewajiban bagi umat islam untuk menggunakan hak pilihnya dalam Pilkada, Pemilu maupun Pilpres pada 2009 silam. Seperti dikutip dari republika.co.id, isi fatwa MUI tersebut yang terdiri dari 5 Point, pada point ke 4 berisi "Memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (siddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunya kemampuan (fathonah), dan memperjuangkan kepentingan umat Islam hukumnya adalah wajib."
Sementara Point ke 5 berisi "Memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam butir 4 (empat) atau tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram."
Selain pemaparan yang saja jabarkan di atas, upaya melawan Golput ini bukan hanya menjadi tugas penyelenggara pemilu yakni KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) saja. Tetapi juga menjadi tugas kita semua.Â
Sosialisasi kepada masyarakat harus gencarkan dengan membangun kepercayaan bahwa Pilpres 2019 berjalan aman, jujur dan adil. Saya juga berharap apa yang saya alami ini di ikuti oleh orang-orang yang belum menentukan atau akan Golput di Pilpres 2019, mengurungkan niatnya tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H