Semua orang tentu tahu kota metropolitan DKI Jakarta. Mulai dari negatifnya seperti macet yang tidak mengenal waktu, padat penduduk, tindak kriminalitas yang tinggi, sampai sisi positifnya yakni kota yang menawarkan sejuta mimpi untuk merubah nasib untuk menjadi lebih baik. Apakah itu perubahan ekonomi, sosial maupun budaya.
Ibu kota negara Indonesia yang kini di pimpin oleh Gubernur Anies Baswedan ini, sedang merubah asumsi negatif yang berlaku di masyarakat dengan pelbagai cara. Salah satu contoh pembenahan infrastruktur di kawasan Sudirman - Thamrin. Tidak hanya itu, di kawasan lain juga dilakukan hal yang sama seperti pembangunan taman kota, transportasi massal dilakukan. Semuanya itu dilakukan oleh membahagiakan warganya agar betah hidup di Jakarta.
Sebagai makhluk sosial yang membutuhkan suasana baru untuk menyegarkan pikiran mengusir kejenuhan kehidupan di kota besar, semua hal di atas belum cukup. Terutama bagi saya yang sudah sejak lahir bermukim di kota yang berpenduduk kurang lebih 10 juta jiwa ini.
Untuk menjawab/mengobati kejenuhan saya ini, pada akhir pekan lalu diajak sahabat untuk berkunjung ke rumah saudaranya yang terletak di daerah Serang, Banten. Saya sempat menolak ajakan tersebut karena jarak yang cukup jauh dari Jakarta. Belum lagi, untuk menuju kesana menggunakan sepeda motor. Namun dengan alasan sahabat saya ini ingin berobat, saya menerima ajakannya. Pada hari itu saya juga sedang ada waktu luang.
Sekitar jam 2 siang, saya berangkat berboncengan dengan sahabat saya yang bertubuh tambun itu. Saya yang mengendarainya. Cuaca pada siang itu cukup terik. Sampai-sampai saya memakai jaket tidak dikancingi. Perjalanan ke Serang menggunakan sepeda motor ini merupakan pengalaman pertama saya. Sebelum-sebelumnya saya paling jauh ke daerah Puncak atau Bogor, Jawa Barat.
Jarak tempuh ke daerah-daerah tersebut kurang lebih hampir sama, yakni sekitar dua jam. Namun perjalanan ke Serang ini benar-benar tanpa istirahat. Sementara waktu 2 jam untuk menuju ke Puncak atau Bogor, saya biasanya pakai istirahat. Entah mengapa untuk perjalanan kali ini saya tidak memilik untuk istirahat. Apakah itu karena saya hanya jalan berdua atau alasan lainnya.
Selama perjalanan lewati jalur Ciledug, Cipondoh, saya masih tahu jalannya. Namun ketika sudah memasuki kawasan Tangerang Kota, saya tidak tahu. Sahabat saya ini yang menunjukan/mengarahkan jalannya. Saya lupa alasan kenapa yang mengendai motor karena sahabat saya ini sedang sakit, tidak bisa mengendarai motor sebagaimana mestinya. Apa lagi untuk jarak yang cukup jauh ke Serang.
Pantat saya sempat panas diperjalanan menuju Serang ini. Wajarnya saja karena jarak yang saya cari di google dari Jakarta ke Serang itu sekitar 80-an kilometer. Kecepatan yang saya gunakan mulai dari 40-60 km/jam sampai di atas 80 km/jam. Agar pantat saya tidak panas namun perjalanan tetap berlangsung, saya mencoba duduk agak bergeser ke belakang.
Perjalanan saya ini tidak boring karena sahabat saja terus mengajak ngobrol saya. Mulai dari cerita masa kecil sahabat saya ini di Serang sampai masalah keluarganya. Saya hanya menjadi pendengar yang baik saja. Sahabat saja ini juga bercerita apabila ia mengendarai sepeda motor ke Serang ini seorang diri. Hebatnya, kata saudaranya, sahabat saya ini hanya membutuhkan waktu 1 jam perjalanan dari Ciledug Kreo - perbatasan Jakarta dengan Tangerang Banten - menuju Serang.
Perjalanan saya kali ini juga cukup aneh karena tidak merokok sama sekali. Biasa saya apabila perjalanan jauh menggunakan sepeda motor, saya merokok untuk mengusir kebosanan atau melawan kantuk. Mengendarai sepeda motor maupun kendaraan lainnya sambil merokok itu tidak baik karena dapat menyebabkan kecelakaan. Baik itu membahayakan diri sendiri maupun pengendara lain.
Pemandangan Langka
Saya tidak bisa menyebutkan nama-nama jalan yang saya lalui menuju Serang. Yang saya ingat hanya melewati Jalan Raya Serang. Selama perjalanan saya juga banyak melewati pabrik-pabrik. Tidak aneh sih menurutnya saya karena daerah Tangerang, Serang, memang dikenal sebagai daerah industri.
Sesampainya di daerah Serang - saya tidak tahu daerah Serang mananya - Saya disuguhi pemandangan yang langka dijumpai di Jakarta seperti sawah-sawah, tanah lapang yang banyak digunakan oleh anak-anak sekitar untuk bermain bola dan danau-danau kecil. Udara di daerah tersebut juga sejuk. Berbeda dengan Jakarta. Meskipun saat ini sudah memasuki musim hujan, cuaca Jakarta masih saja panas.
Mengapa cuaca Jakarta menurut saya masih saja panas meski sudah hujan? Karena penghijauan yang kurang, sudah disesaki pemukiman penduduk, hotel-hotel, pusat perbelajaan moderan (mall) dan lainnya.
Saya pun benar-benar menikmati suasana di kota Serang itu. Apa lagi saya sampai di rumah saudara sahabat saya ini sekitar jam 4 sore. Saya pun langsung diajak sahabat saya ini jalan-jalan ke sawah dan danau di belakang rumah. Di sana saya benar-benar melepas kepenatan dari rutinitas kehidupan kota besar yang penuh dengan kebisingan.
Kehidupan masyarakat di Serang ini juga sangat berbeda dengan Jakarta. Mereka lebih banyak bersosialisasi. Mulai dari anak-anak, pemuda, orang dewasa, semuanya berinteraksi. Berbeda dengan masyarakat di Jakarta. Mereka lebih sibuk dengan gadgetnya masing-masing. Berinteraksi secara langsung bisa saya katakan bukan hal yang utama. Masyarakat ibu kota lebih suka berinteraksi secara tidak langsung atau melalui media sosial.
Hal ini menjadi pemandangan yang langka ditemui di Jakarta, seperti bermain getek (perahu kecil terbuat dari kayu/bambu), berenang bersama di danau, mancing, bersepeda sore-sore yang saya temui anak-anak di Serang melakukan aktivitas itu. Sayangnya saya tidak mengabadikan momen-momen itu dalam bentuk visual, karena saya memang tidak berniat perjalanan saya ini untuk menjadi bahan tulisan.
Saya pun sempat berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Bahaya yang digunakan adalah bahasa Sunda. Mereka bisa juga menggunakan bahasa Indonesia, meskipun masih diselengi atau dicampur dengan bahasa Sunda. Suasana malam hari di Serang pun berbeda dengan Jakarta. Disana suasana tenang. Di karenakan juga rumah-rumah disana itu berdekatan.
Saya tidak menginap. Sekitar jam 10 malam, saya kembali ke Jakarta. Perjalanan bergeser dua jam dari Ibu Kota Jakarta ini benar-benar berkesan bagi saya, sekaligus menjadi pengalaman dan obat mengatasi kejenuhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H