Mohon tunggu...
Robbi Gandamana
Robbi Gandamana Mohon Tunggu... Ilustrator - Ilustrator

Facebook : https://www.facebook.com/robbi.belumfull -------- IG : https://www.instagram.com/robbigandamana/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Petolo dan Perlunya Suaka untuk Jajanan Langka

15 Agustus 2023   16:13 Diperbarui: 15 Agustus 2023   17:04 340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: SOCLyfe/Nissa 

Mungkin Petolo (baca : petulo) adalah salah satu jajanan tradisional yang hampir punah. Jajanan asli Malang yang rasa dan rupa mirip Putu Mayang atau Angsle ini bahkan di kota asalnya pun belum pernah aku temui. Mungkin blakrakku kurang adoh.

Justru aku menemui Petolo Mayang (kuah santan isi putu mayang, serabi dan ketan) ini di Pasar Ngarsopuro (pasar khusus elektronik, musik, dan olahraga). Tepatnya di seberang Pura Mankunegaran, Jl. Ronggowarsito No.97 Surakarta. Tanyakan Pakde Google Maps.

Gerobaknya ngendon di parkiran depan gedung MTA (Majelis Tafsir Al Qur'an). Mungkin si penjual niatnya jualan sambil ngaji. Salut, semoga istiqomah.

Aslinya dia ini penjual keliling. Nggak menetap di tempat yang resminya  area parkir Pasar Ngarsopuro. Makanya dia sering main petak umpet sama Satpol PP. Tapi nggak pernah kapok buka lapak di sana. Satpol PP dan kaki lima itu kadang lutju.

Salah satu yang hebat dari penjual Petolo ini (gak tau takok jenenge), harganya nggak pernah naik. Dari anakku masih TK sampai jadi Mahasiswa, harganya tetap lima ribu rupiah. Opo yo gak kepingin ngoleksi Ferrari.

Dagangannya memang laris, karena rasanya oke punya. Kalau ramai, bisa habis 400an mangkok. Biasanya saat ada pengajian MTA di hari minggu (bukan sekolah minggu).

Jamaahnya datang dari segala srata sosial. Mbludak gak karu-karuan. Minibus berbaris di pinggir jalan kayak tentara latihan PBB. Dari bakul keong sampai pengusaha Kebab. Mendengarkan ceramah sampai ngantuk-ngantuk. Mungkin mbahas warisan. Lha wong gak duwe warisan.

Ini contoh pengajian yang oke, nggak cuman untuk nutrisi jiwa, tapi juga menghidupkan ekonomi rakyat. Karena memunculkan pasar kaget. ---Fyi, aku bukan MTA. Bukan juga NU, Muhammadiyah, apalagi LDII. Gak kabeh. Sing jelas KTPku Islam--.

Ada orang yang berdagang dengan perencanaan yang sangat matang, semua dikalkulasi dengan sangat cermat, tapi kok ya pembelinya sporadis. Swepi, dobolll. Tapi ada yang berdagang dengan rileks, niatnya ibadah dan urusan martabat, malah laris. Ya'opo iku.

Kayak Penjual Petolo yang asli Malang ini. Malang  tapi yang pelosok desa. Makanya belum terkontaminasi gaya hidup metropolis. Cara menyikapi hidupnya nggak ngoyo, sak madya. Pelanggannya sudah banyak tapi nggak ada keinginan bikin franchise atau buka cabang.

Kukira bakul Petolo di Solo yo wong iki tok. Makanya Petolo ini layak untuk dilestarikan (sekalian penjualnya). Kalau di dunia hewan ada istilah Suaka Margasatwa, mungkin kalau di makanan istilahnya Suaka Badokan Lokal.

Jajanan tradisional itu termasuk local genius. Cita rasa asli bangsa Endonesah tercintah. Murah meriah tanpa bahan pengawet. Tapi mambu lek gak diangeti.

Makanan impor boleh jadi makanan favoritmu tapi jangan lupakan akar budayamu. Nek ilate Jowo ojok dipekso dadi londo. Wis talah raimu iku jowo. Pesek, kulit mbekisik, rembes gak karu-karuan. Cocoke nongkrong nang angkringan. Nek nongkrong nang Burger King iso ngerusak pemandangan.

Kebetulan aku nggak selera makanan impor. Nggak paham rasane. Prasaku panganan nek dike'i mayones rasane kok dadi basi. Kalau ada dua pilihan antara burger dan Wajik, aku milik Wajik. Gilo aku ndelok burger sing mayonese dleler koyok kopok. Ups.

Iku aku rek. Seleraku pancen ndeso. Soal rasa, Petolo Mayang ini recommended. Tapi kalau soal tempat, ya begitulah. Namanya tempat parkir itu nggak ada yang romantis. Sumpek. Nggak asyik untuk berlama-lama. Panganan entek langsung mulih. Tapi bisa dibungkus kalau males nongkrong.

Petolo juga aman untuk yang berjenggot lebat dan panjang. Kok begitu? Karena ada pria berjenggot setelah makan cendol memarahi penjualnya. Dia protes, kenapa dia hanya dikasih kuah saja, cendolnya mana!??... ...Ternyata cendolnya pada nyangkut di jenggot.

Btw, petolo itu enaknya disruput saat masih hangat. Sama dengan Angsle atau Ronde. Kalau sudah dingin kurang mantep. Jauh beda dengan teh yang harganya bisa nggak sama antara yang panas dan dingin. Yang panas harganya dua ribu rupiah, kalau dingin tiga ribu rupiah.

Jangan heran kalau di warung ada orang yang langsung meminum habis teh panas yang baru disuguhkan. Dia takut tehnya jadi dingin, harganya akan naik. Woala, yo ngono iku nek marung sangune pas-pasan.

Wis ah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun