Adat budaya yang memiliki nilai-nilai luhur bangsa sangat perlu dilestarikan. Kebesaran  suatu bangsa bisa dilihat dari adat budaya yang masih dijunjung tinggi dalam kehidupan sosial.
Tuhan menciptakan kita untuk menjadi diri kita seutuhnya. Kalau kamu Jawa, tetaplah jadi orang Jawa. Jangan jadi Arab atau Barat. Perbedaan itu fitrah. Tuhan sengaja menciptakan kita berbeda-beda suku, bangsa dengan adat budayanya agar saling mengenal. Nek raimu Jowo, ojok mekso dadi Londo.
Ada banyak cara untuk melestarikan budaya luhur bangsa. Salah satunya dengan event budaya. Contohnya event Gandrung Sewu, festival tari gandrung kolosal di kabupaten Banyuwangi. Gandrung Sewu 2022 ini diadakan tanggal 29 Oktober kemarin di pantai Boom Marina, Banyuwangi. Gandrung Sewu merupakan salah satu bagian Banyuwangi Festival.
Tari Gandrung sendiri adalah pengenjawatahan dari rasa syukur masyarakat setelah panen. Jadi, tari di sini adalah refleksi syukur yang diwujudkan ke dalam bahasa gerak ritmis yang indah. Karena sebenarnya ritual budaya di Nusantara itu muaranya adalah manembah, persembahan pada Tuhan, bukan yang lain.
Jadi, kalau ada suatu golongan tertentu yang melabeli syirik, itu karena belum paham konsep dan ilmunya. Memahami agama masih sebatas kulit. Tapi kita harus berprasangka baik, bahwa mereka begitu karena kehati-hatiannya dalam beragama.
Tari itu pada dasarnya adalah gerak. Shalat pun juga didasari oleh gerak. Gerak tari dan shalat adalah gerak simbolis. Konsep dan tujuannya mungkin sama, yang jelas beda itu teknisnya. Wis gak usah eker-ekeran.
Event Gandrung Sewu juga dimeriahkan aksi perupa dari ArtOs Nusantara dengan melukis on the spot di kanvas raksasa. Mereka melukis penari gandrung selama 3 jam nonstop saat tari Gandrung Sewu berlangsung.
Dan hasilnya tidak mengecewakan, lukisan berjudul 'Spiritualitas Gandrung' memang mbois. Goresan ekspresif tapi tetap terlihat realis. Gak koyok lukisanmu sing  aliran ngawur iku.
Perupa ArtOs layak diacungi jempol, mereka adalah garda depan pelukis Banyuwangi. Mereka adalah Windu Pamor, Sugi Laros, Haruman Huda, Suryantara, Rahman Efendi. Ada juga Iwan Han, Cak To, Be Ben dan Asep. Tak lupa juga Imam Maskun, sang kakak pembina perupa ArtOs. Salut Mboel.
Aku tahu Imam Maskun ini karena aku pernah satu kuliah di Seni Rupa IKIP Malang. Dia memang punya semacam bakat kepemimpinan, disamping bakat melukisnya. Mbois bro, tak dungakno dadi Bupati.