Mohon tunggu...
Robbi Gandamana
Robbi Gandamana Mohon Tunggu... Ilustrator - Ilustrator

Facebook : https://www.facebook.com/robbi.belumfull -------- IG : https://www.instagram.com/robbigandamana/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pawang Hujan dan Generasi Kagetan

22 Maret 2022   17:11 Diperbarui: 22 Maret 2022   17:38 725
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Sonny Tumbelaka / AFP

Budaya itu alatnya agama. Sarung, gamis dan juga kopyah itu budaya yang dijadikan kostum agama. Begitu juga dengan tikar dan karpet, itu budaya yang dijadikan sarana untuk ritual agama. Wayang itu budaya, tapi dijadikan media dakwah Islam oleh Sunan Kalijaga. Bahkan diIslamkan, cerita wayang yang poliandri dijadikan poligami.  

Melihat ritual budaya itu harus dengan keluasan hati dan pikiran. Kalau nggak paham ilmunya (konsep) jangan buru-buru menghakimi. Ketika Jokowi menyatukan tanah dan air dari 34 provinsi di IKN baru juga dicap klenik, syirik. Woala, ritual seperti itu khan sifatnya simbolis, nggak jauh beda dengan upacara bendera.

Kesempitan berpikir itu jauh lebih berbahaya dari kebodohan. Karena gampang diakali, diadu domba, diprovokasi, digerakan untuk kepentingan politis.
 
Nggak usah sok hijrah, cukup jadi orang baik yang tetap menjalankan syariat. Ngono ae wis beres.  Buat apa hijrah tapi jadi jamaah aliran sempit pikir. Sama juga ndlahom. Karena banyak mualaf kemarin sore yang menuntut negara khilafah. Hijrah kalau jadi ndlahom murrokab begitu, mending gak hijrah-hijrahan rek.

Apalagi sampai kostumnya jadi berubah drastis : pakai gamis dan ndase diuntel-unteli kain yang bentuknya mirip ban Vespa. Padahal hijrah itu soal tabiat, bukan pindah adat.  Dapat hidayah itu Alhamdulillah, tapi tetep jadilah orang Indonesia. Nek raimu Jowo yo wis Jowo ae.

Itulah akibat kalau salah Ustadz. Hafal dan fasih membaca Qur'an beserta dalilnya, tapi nggak punya kedalaman memahami makna. Akhirnya nggak punya keluasan hati dan pikiran. Bendino nggambleh syirak syirik ae.

Makanya BNPT perlu menerbitkan ciri-ciri Ustadz Radikal kepada publik agar generasi muda nggak kagetan dan nggak terputus dengan (adat budaya) leluhurnya.

BNPT belum menemukan padanan kata yang pas untuk 'radikal'. Ustadz Radikal dalam konteks ini maksudnya yang  anti dengan adat budayanya sendiri. Jadi, bukan Ustadz radikal yang mengajak jamaahnya ngebom gereja. Walau Ustadz jenis ini juga masuk blacklist.

Akibat kebenciannya pada adat budaya, khotbah seringkali disampaikan dengan cara nggak nyaman dan nggak sopan, karena disampaikan di depan orang yang sebenarnya masih memegang teguh adat budaya. Setelah ikut pengajiannya, nggak malah tumbuh cinta kasih pada sesama manusia. Malah timbul rasa benci pada orang yang nggak sealiran.

Ajaran Ustadz Sempit Pikir ini jelas memutus generasi muda dengan keluhuran budi leluhur bangsa. Lha wong Wayang diharamkan, rekreasi ke candi Borobudur juga haram, bahkan sungkem ke ortu diharamkan. Lihat pawang hujan langsung gupuh, bahkan malu. Sama adat budaya bangsanya sendiri kok malu. Malu itu cari uang dengan joget seronok pamer susu di Tik Tok.

Gelaran di musim hujan itu pawang hujan memang perlu masuk dalam struktur panitia. Kehadirannya dibutuhkan untuk melancarkan jalannya acara dari hujan badai. Acara nikah di kampung saat musim hujan lagi deras-derasnya, ngeri kalau tanpa pawang hujan. Iso-iso panggung pengantinmu kenyut. Awakmu katut, glagepan gak iso nglangi.

Wis rek, budayakan memperluas wawasan. Ojok ndlongop ae.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun