MUI telah diompongi oleh Kemenag. Sertifikasi logo halal yang biasanya jadi wewenang MUI, diambil alih oleh Kemenag. Sekaligus desain logo halal diganti dan logo lama milik MUI segera tidak berlaku. Bagoess.
Sip wis, sepertinya MUI dibubarkan secara halus. Bisa jadi karena sudah tercemar paham radikal. Lanjutken gaes.
Kasihan, sekarang MUI kehilangan penghasilan sampingan. Sementara Kemenag penghasilan sampingannya bertambah eh, maksudku Kemenag kerjaannya bertambah.
Tapi diganti atau tidak, logo halal nggak akan berpengaruh banyak bagi rakyat. Apalah arti sebuah logo bagi masyarakat awam. Gambar pating plungker  gak jelas koyok ngono.
Nggak usah repot-repot menjelaskan konsep desainnya yang dahsyat itu, langsung ae jelasno untuk mendapat sertifikasi logo halal itu kudu mbayar piro?
Pikiran rakyat awam itu simpel, mau diganti atau tidak, nggak ada urusan. Yang penting dagangannya laris. That's all. Walau untuk produk tertentu dikasih logo halal itu lebih menentramkan hati penjualnya. Ya karena terasa Islami atau Syar'i. Kalau soal lebih untung atau tidak, itu relatif.
Kita ini negara dengan penduduk yang mayoritas muslim. Kalau mau makan di warung atau cafe nggak bakalan tanya-tanya soal halal haram. Kita saling percaya saja, kalau penjualnya muslim, otomatis makanan yang disajikan halal.
Bahkan warung yang ownernya nasrani pun kita nggak bakalan tanya, "Nggorengnya pakai minyak babi nggak?" Gendeng ta. Itu jelas nggak sopan. Kalau nggak yakin, jangan makan di warung tersebut.
Juga nggak mungkin semua produk makanan harus dikasih label halal. Penjaja gorengan, warung jajanan pasar, bakul kerupuk, bakul snack, apa ya harus dagangannya dikasih label halal. Nggak akan cukup tenaga dan waktu untuk ngurusi sampai ke tingkat itu.
Jadi di negeri yang mayoritas muslim ini sebenarnya nggak membutuhkan label halal, tapi label haram. Kenapa? Karena produk yang dijual di masyarakat pastilah lebih banyak halalnya daripada haramnya.