Atas dasar hak asasi manusia, banyak orang  yang mempermasalahkan penembakan mati Dokter Sunardi, tersangka teroris, saat akan diamankan di rumahnya. Aku paham maksud mereka, bahwa tugas polisi itu mengamankan tersangka. Soal tersangka dihukum mati atau tidak, biar hakim yang memutuskan di pengadilan. Kiro-kiro ngono lah.
Densus 88 berdalih bahwa Dokter Sunardi ditembak karena melawan atau membahayakan aparat dan warga sekitar saat akan diamankan. Jadi ini bukan soal teroris atau bukan teroris. Siapapun yang melawan atau membahayakan petugas ya harus dilumpuhkan. Nggak perduli dia maling ayam atau teroris.
Memang, melumpuhkan bukan berarti mematikan. Penembakan itu terpaksa dilakukan karena untuk mencegah tersangka melukai aparat dan warga. Kalau menyebakan kematian, itu resiko tersangka. Salahe sopo ngelawan, mbok wis sing kooperatif. Aparat nggak bisa disalahkan seratus persen. Dalam menghadapi penjahat, aturan nggak selalu bisa diterapkan di lapangan.
Memang ada oknum polisi yang nggak mau pusing, langsung main tembak tanpa tembakan peringatan. Lha ya'opo si penjahat larinya lebih cepat dari polisi. Polisine wetenge mblendung jarang olahraga, penjahatnya rajin ke gym. Kalau dikasih peringatan, penjahatnya keburu ngilang. Gak sido munggah pangkat.
Aku maklum dengan keberatan Komnas HAM. Main hakim sendiri itu juga kriminal, pelanggaran hak asasi. Walaupun sudah tersangka, apalagi kalau ternyata tidak terbukti bersalah. Sudah dipaksa ngaku, digunduli, sampai dipukuli, ternyata memang salah tangkap. Tongkronganya teroris abis sih.
Okelah, teroris memang bajingan, kriminal kelas kakap. Artinya layak dihukum berat. Tapi, polisi nggak dibenarkan main hakim sendiri walau yang akan diamankan berstatus tersangka, apalagi yang masih diduga. Ini negara hukum, bukan negarane mbokde Jum.
Nek sempakmu sering ilang, terus kamu curiga berat tetanggamu sebagai malingnya, nggak bisa kamu langsung menyuruh tetanggamu membuka resleting celananya. Apa jadinya kalau tetanggamu nggak memakai sempak. Nggilani khan?
Bahkan saat mengamankan pun ada prosedurnya. Â Apa itu mengenalkan diri, menunjukan identitas, dan seterusnya. Ya nggak terlalu sopan juga : "Nuwun sewu mas, kulo niki polisi, ajenge nangkep panjenengan...ampun mlayu nggih."
Kasus penangkapan Dokter Sunardi juga membuat banyak orang bertanya, "belum melakukan teror kok sudah disebut teroris?"
Kalau sudah terbukti berdasarkan dokumen yang ada dan atau pengakuan dari tersangka lain bahwa Dokter Sunardi tergabung dalam jaringan terorisme, itu sudah membuatnya jadi teroris. Tanpa harus melakukan tindakan teror. Walau faktanya dia sudah melakukan tindakan teror --> berusaha melawan dengan menabrakan mobilnya ke polisi saat akan diamankan.
Tapi tindakan Komnas HAM sudah benar, melakukan penyelidikan terhadap tewasnya Dokter Sunardi. Walaupun sudah jadi tersangka, Dokter Sunardi punya hak untuk diperlakukan sesuai prosedur yang berlaku. Nggak bisa ditembak mati tanpa alasan yang mendesak. Sudah saya uraikan di atas.
Teroris juga manusia yang bisa saja insyaf. Nyatanya Ali Imron, pelaku bom bali, sekarang sudah tobat dan sering diundang jadi nara sumber dalam rangka kampanye deradikalisasi dan anti-terorisme.
Bagiku hukuman mati nggak selalu tepat untuk diterapkan. Di dunia ada yang namanya kesempatan kedua. Di akhirat tidak ada. Makanya aku nggak respect dengan negara yang menerapkan hukum pancung, hukum rajam, dan hukum potong tangan. Hukuman seperti itu malah bisa menambah masalah. Bagaimana mau kerja beneran kalau sudah nggak punya tangan.
Hukuman mati diterapkan di negara yang tingkat kriminalitasnya sudah los dol. Nggak ada jalan lain. Hukuman itu diberlakukan agar ada efek jera. Orang akan mikir panjang kalau mau berbuat jahat. Walau saat pikiran gelap, orang nggak mikir panjang. Dikasih dalil-dalil soal neraka pun nggak bakal mempan.
Jadi, dalam kasus tewasnya Dokter Sunardi ini apakah polisi atau Densus 88 sudah mengikuti prosedur yang benar? Ataukah Komnas HAM mengkriminalisasi Densus 88 yang sudah berusaha keras mengamankan tersangka teroris?
Aku gak eruh, karena tidak berada di tekape saat kejadian. Kita tunggu saja penyelidikan Komnas HAM. Tapi di luar soal mengikuti prosedur atau tidak, aku tetap salut dengan kinerja Densus 88 yang sigap. Bravo!
Wis ah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H