Tapi tindakan Komnas HAM sudah benar, melakukan penyelidikan terhadap tewasnya Dokter Sunardi. Walaupun sudah jadi tersangka, Dokter Sunardi punya hak untuk diperlakukan sesuai prosedur yang berlaku. Nggak bisa ditembak mati tanpa alasan yang mendesak. Sudah saya uraikan di atas.
Teroris juga manusia yang bisa saja insyaf. Nyatanya Ali Imron, pelaku bom bali, sekarang sudah tobat dan sering diundang jadi nara sumber dalam rangka kampanye deradikalisasi dan anti-terorisme.
Bagiku hukuman mati nggak selalu tepat untuk diterapkan. Di dunia ada yang namanya kesempatan kedua. Di akhirat tidak ada. Makanya aku nggak respect dengan negara yang menerapkan hukum pancung, hukum rajam, dan hukum potong tangan. Hukuman seperti itu malah bisa menambah masalah. Bagaimana mau kerja beneran kalau sudah nggak punya tangan.
Hukuman mati diterapkan di negara yang tingkat kriminalitasnya sudah los dol. Nggak ada jalan lain. Hukuman itu diberlakukan agar ada efek jera. Orang akan mikir panjang kalau mau berbuat jahat. Walau saat pikiran gelap, orang nggak mikir panjang. Dikasih dalil-dalil soal neraka pun nggak bakal mempan.
Jadi, dalam kasus tewasnya Dokter Sunardi ini apakah polisi atau Densus 88 sudah mengikuti prosedur yang benar? Ataukah Komnas HAM mengkriminalisasi Densus 88 yang sudah berusaha keras mengamankan tersangka teroris?
Aku gak eruh, karena tidak berada di tekape saat kejadian. Kita tunggu saja penyelidikan Komnas HAM. Tapi di luar soal mengikuti prosedur atau tidak, aku tetap salut dengan kinerja Densus 88 yang sigap. Bravo!
Wis ah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H