Mohon tunggu...
Robbi Gandamana
Robbi Gandamana Mohon Tunggu... Ilustrator - Ilustrator

Facebook : https://www.facebook.com/robbi.belumfull -------- IG : https://www.instagram.com/robbigandamana/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Komnas HAM Mengkriminalisasi Densus 88 Atas Tewasnya Dokter Sunardi?

14 Maret 2022   16:17 Diperbarui: 14 Maret 2022   18:14 3711
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto : Antara/Rony Muharman

Atas dasar hak asasi manusia, banyak orang  yang mempermasalahkan penembakan mati Dokter Sunardi, tersangka teroris, saat akan diamankan di rumahnya. Aku paham maksud mereka, bahwa tugas polisi itu mengamankan tersangka. Soal tersangka dihukum mati atau tidak, biar hakim yang memutuskan di pengadilan. Kiro-kiro ngono lah.

Densus 88 berdalih bahwa Dokter Sunardi ditembak karena melawan atau membahayakan aparat dan warga sekitar saat akan diamankan. Jadi ini bukan soal teroris atau bukan teroris. Siapapun yang melawan atau membahayakan petugas ya harus dilumpuhkan. Nggak perduli dia maling ayam atau teroris.

Memang, melumpuhkan bukan berarti mematikan. Penembakan itu terpaksa dilakukan karena untuk mencegah tersangka melukai aparat dan warga. Kalau menyebakan kematian, itu resiko tersangka. Salahe sopo ngelawan, mbok wis sing kooperatif. Aparat nggak bisa disalahkan seratus persen. Dalam menghadapi penjahat, aturan nggak selalu bisa diterapkan di lapangan.

Memang ada oknum polisi yang nggak mau pusing, langsung main tembak tanpa tembakan peringatan. Lha ya'opo si penjahat larinya lebih cepat dari polisi. Polisine wetenge mblendung jarang olahraga, penjahatnya rajin ke gym. Kalau dikasih peringatan, penjahatnya keburu ngilang. Gak sido munggah pangkat.

Aku maklum dengan keberatan Komnas HAM. Main hakim sendiri itu juga kriminal, pelanggaran hak asasi. Walaupun sudah tersangka, apalagi kalau ternyata tidak terbukti bersalah. Sudah dipaksa ngaku, digunduli, sampai dipukuli, ternyata memang salah tangkap. Tongkronganya teroris abis sih.

Okelah, teroris memang bajingan, kriminal kelas kakap. Artinya layak dihukum berat. Tapi, polisi nggak dibenarkan main hakim sendiri walau yang akan diamankan berstatus tersangka, apalagi yang masih diduga. Ini negara hukum, bukan negarane mbokde Jum.

Nek sempakmu sering ilang, terus kamu curiga berat tetanggamu sebagai malingnya, nggak bisa kamu langsung menyuruh tetanggamu membuka resleting celananya. Apa jadinya kalau tetanggamu nggak memakai sempak. Nggilani khan?

Bahkan saat mengamankan pun ada prosedurnya.  Apa itu mengenalkan diri, menunjukan identitas, dan seterusnya. Ya nggak terlalu sopan juga : "Nuwun sewu mas, kulo niki polisi, ajenge nangkep panjenengan...ampun mlayu nggih."

Kasus penangkapan Dokter Sunardi juga membuat banyak orang bertanya, "belum melakukan teror kok sudah disebut teroris?"

Kalau sudah terbukti berdasarkan dokumen yang ada dan atau pengakuan dari tersangka lain bahwa Dokter Sunardi tergabung dalam jaringan terorisme, itu sudah membuatnya jadi teroris. Tanpa harus melakukan tindakan teror. Walau faktanya dia sudah melakukan tindakan teror --> berusaha melawan dengan menabrakan mobilnya ke polisi saat akan diamankan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun