Mohon tunggu...
Robbi Gandamana
Robbi Gandamana Mohon Tunggu... Ilustrator - Ilustrator

Facebook : https://www.facebook.com/robbi.belumfull -------- IG : https://www.instagram.com/robbigandamana/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jujur Sajalah Kalau Toa Bisa Bikin Pusing Kepala

1 Maret 2022   16:07 Diperbarui: 1 Maret 2022   16:54 1703
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Banyak orang yang sungkan, nggak jujur dengan hatinya, walaupun nggak nyaman dengar adzan yang terlalu keras (dan fals) mereka nggak berani protes. Takut dicap benci Islam, nggak toleran, dan semacamnya. Padahal yang dipermasalahkan itu VOLUME bukan adzannya.

Aturan pengaturan suara Toa memang perlu. Apalagi saat ini masjid di kota banyak jumlahnya. Hampir tiap gang punya masjid atau mushola. Kalau semua masjid itu berbarengan adzan dengan suara keras, yo nggak asyik. Jujur ae lah, gak usah sok alim. Suara Toa masjid juga bisa bikin pusing kepala kalau volumenya terlalu tinggi.

Islam itu agama yang suka ditengah-tengah, maksudnya nggak suka berlebihan tapi juga nggak suka terlalu ngirit. Begitu juga dengan suara adzan, jangan terlalu keras juga jangan terlalu pelan.

Kesalahan fatal Menag itu cuman menganalogikan adzan dengan suara anjing. Karena anjing dianggap hewan pembawa najis. Maka ucapan 'anjing' dianggap perkataan yang kasar. Sampai-sampai  guru bahasa Jawa nggak berani mengatakan 'asu' (saat menerjemahkan kata 'anjing') di depan murid-muridnya.

Tapi bukan berarti Menag menyamakan suara adzan dengan suara anjing. Cuma salah pemilihan diksi. Menag yo gak goblok rek. Namanya manusia pasti pernah ada salah ucap.

Kita ini memang suka main analogi, tapi sering nggak pas. Ini bahaya. Karena bisa jadi bahan gorengan para barisan sakit hati dan juga para ndlahom yang terprovokasi.

Menganalogikan suara sound musik hajatan dengan adzan itu juga nggak masuk. Sama-sama suara tapi beda maksud dan maknanya. Adzan itu syakral, nggak bisa diiringi gitar. Ganok gripe.

Musik di hajatan itu nggak cuman hiburan tapi juga sebagai sinyal kalau ada orang yang bikin hajatan. Nggak tiap hari ada, bahkan nggak mesti sebulan sekali ada. Wis gak usah kakean protes, protesmu akan kembali ke dirimu (karma). Nantinya kamu juga pasti  muter musik dangdut dengan volume keras sampai tengah malam saat mengadakan hajatan.

Juga jangan analogikan suara adzan dengan suara kereta api bagi yang rumahnya dekat dengan jalur kereta api. Volume suara mesin atau roda kereta api itu nggak bisa diatur volumenya. Mau nggak mau ya seperti itu. Beda dengan Toa yang bisa diatur keras lembutnya.

Muslim zaman sekarang ini rewel. Aturan itu dibuat itu untuk kebaikan bersama, karena masyarakat kita heterogen. Ada yang Islam, ada yang kristen. Ada yang alim, ada yang enggak. Kalau di suatu kecamatan atau kota penduduknya Islam dan alim semua, jangan patuhi aturan Menag. Tinggikan volume suara adzan sampai jebol soundnya.

Agama itu untuk hidup, bukan hidup untuk agama. Agama adalah jalan bagi manusia  untuk memahami hidup dan kehidupan agar tercipta harmoni antar sesama pemeluk agama yang berbeda. Kalau dalam beragama malah menyakiti umat agama yang lain, itu pasti ada yang salah dalam menjalankan ajaran agamanya. Kalau hidup untuk agama, pasti perang terus.

Adzan dengan volume keras kadang memang bisa membantu orang yang budek atau susah bangun pagi. Seperti tetanggaku non muslin yang bisnis jualan kue. Dia butuh bangun pagi-pagi sekali untuk bikin adonan kue. Tapi tidak dengan non muslim yang lain. Ada yang pulang kerja larut malam, butuh istirahat.

Adzan dengan suara keras mungkin masih bisa ditolerir, tapi kalau ngaji atau shalawatan di tengah malam dengan suara nyaring itu jelas menganggu orang tidur. Oke, kamu memang alim, tapi kamu nggak bisa memaksa orang jadi alim. Keimanan seseorang tidak bisa distandarisasi. Allah juga nggak budek. Dibaca dalam hati pun Dia dengar.

Silahkan mengingatkan dan mengajak orang shalat malam, tapi jangan pernah memaksa. Jangan dipikir ibadah malam itu hanya tahajud. Ngeloni bojo iku yo ibadah.

Cuman disuruh ngatur volume adzan ae rame. Itu bukan peraturan melarang adzan. Adzan itu hakikatnya pemberitahuan waktu shalat. Orang yang sudah terbiasa shalat tepat waktu, pasti tahu secara insting kapan shalat.

Langsung shalat tanpa adzan pun nggak masalah. Shalatnya tetap sah. Karena yang wajib itu shalat, bukan adzan. Makane aku nyantai nek ngajak koncoku shalat, "Hooee qul ya ayyuhal kafirun, ayo sholat ..!"

Kadang yang adzan juga nggak pede. Mau adzan nunggu suara adzan dari masjid lain, padahal sudah ada jadwal shalat dan suara adzan di tivi. Yang di masjid lain juga begitu. Akhirnya saling menunggu. Bukone telat.

Dulu Sunan Kudus menganjurkan umatnya untuk tidak makan daging sapi, diganti daging kerbau, karena takut akan menyakiti perasaan umat agama lain yang memuliakan sapi di zaman itu. Sedangkan kita saat ini dianjurkan untuk mengatur volume adzan saja rewel. Jangan jadi umat penyembah Toa.

Wis ngono ae, ojok percoyo.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun