Mohon tunggu...
Robbi Gandamana
Robbi Gandamana Mohon Tunggu... Ilustrator - Ilustrator

Facebook : https://www.facebook.com/robbi.belumfull -------- IG : https://www.instagram.com/robbigandamana/

Selanjutnya

Tutup

Politik

Antara Teroris, Wajib Helm, dan Delusi Perang Salib

8 April 2021   09:51 Diperbarui: 8 April 2021   11:16 1723
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : ui.ac.id

Itu semua akibat dari memahami ayat atau hadits yang hanya sebatas tekstual. Berhenti pada teks. Tidak menjabarkan lebih jauh, ada apa dibalik teks. Tidak memahaminya secara kontekstual atau kondisional. Karena keadaan jaman dan norma budaya Arab di abad 7 itu jauh berbeda dengan kita sekarang.

Mereka tidak mendengar musik karena ada hadits : ""Akan ada dari umatku kaum yang menghalalkan zina dan sutera, khamr dan alat musik." Padahal hidup manusia itu sangat musik. Saat kita bicara itu ada bunyi, irama, dan temponya. Itu musik banget. Baca Al fatihah juga musik.  Teriakan "Aamiin" pun ada nadanya. Kalau kamu peka nada, pasti tahu yang teriak fals.

Jarene Suyat, musik itu cuman kendaraan. Kalau dijadikan kendaraan menuju kebaikan yang nggak masalah, malah bagus. Musik itu haram kalau digandengkan dengan khamr atau minuman keras. Haram kalau musik digunakan untuk soundtrack berzina. Haram kalau bermusik sambil pamer susu.

Musik itu ekspresi sejati manusia dan mengingkari ekspresi sejati itu "sakit". Nggak heran kalau mereka gampang tersinggung, gampang berprasangka, bahkan psikososial. Karena kurang musik di dalam hidupnya. Karena musik bisa jadi semacam healing. Penikmat musik hidupnya lebih hidup dibanding yang alergi musik.

Jadi, nggak masalah mendengarkan musik apa pun. Asal ambil yang baik, buang yang buruk. Kita apresiasi karyanya, soal kehidupan pemusiknya itu urusan pribadi mereka.

Yang paling  parah ketika alirat kolot sudah menghalalkan darah orang kafir. Ini terjadi karena mereka memahami hadits tidak secara kontekstual. Sebenarnya yang halal darahnya itu orang kafir yang membahayakan pemerintahan (kekhalifahan di jaman itu). Jadi, konteksnya perang (politik).

Dimana-mana yang halal darahnya itu mereka yang melakukan makar, menggulingkan pemerintahan yang sah. Nggak perduli muslim atau non muslim. Ini soal politik, bukan soal agama. Nggak cuman PKI yang dibantai habis, DI/TII yang berideologi Islam juga dibasmi oleh pemerintah yang sah. Nggak ada ampun buat pengkhianat.

Tapi tentu saja, penganut alirat kolot nggak terus jadi teroris. Celana cingkrang, jenggot panjang, baju gamis bukan ciri-ciri mutlak pelaku bom bunuh diri. Teroris di depan Plaza Sarinah sama sekali tidak seperti itu. Pelakunya pakai kaos, celana jins dan topi. Sama seperti masyarakat pada umumnya.  Bisa jadi itu strategi,  agar tidak mudah diendus aparat.

Cuman pada umumnya benih-benih pelaku bom bunuh diri itu berasal dari aliran kolot. Mereka-mereka yang kalau ceramah dengan aroma kebencian. Benci pada apa pun yang nggak sepaham dengan ideologinya. Gampang mensyirik-syirikan dan mensesat-sesatkan. Orang yang sudah lumayan mau shalat, masih saja dicari-cari kesesatannya.

Ada seorang khatib shalat Jumat di tempatku yang seperti itu. Aku menyebutnya sebagai Khatib Spesialis Syirik. Tiap kali ceramah selalu membahas soal syirik. Dia anti budaya Nusantara. Semua disyirikan. Dari selametan, nyadran, mitoni, larung sesaji, semua syirik. Ceramahnya tidak menyejukan, tapi malah bikin misuh. Rasane kepingin napok lambene.

Padahal syirik itu peristiwa sederhana, ketika di hatimu ada Tuhan selain Allah. Jadi silahkan lakukan kegiatan budaya apa pun selama hatimu bertauhid, selama hanya Allah yang menjadi sesembahanmu. Semua tergantung pada niat dan konsepnya. Gak perlu tak jelasno secara detail, paling awakmu gak paham.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun