Mohon tunggu...
Robbi Gandamana
Robbi Gandamana Mohon Tunggu... Ilustrator - Ilustrator

Facebook : https://www.facebook.com/robbi.belumfull -------- IG : https://www.instagram.com/robbigandamana/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Seberapa Besar Sih Efek Undang-Undang Tenaga Kerja Bagi Buruh?

12 Oktober 2020   13:58 Diperbarui: 12 Oktober 2020   14:14 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah kalian gulung kuming memperjuangkan hak-hak tenaga kerja yang dikebiri itu, pertanyaan yang mendasar sekarang adalah seberapa besar sih efek undang-undang soal tenaga kerja pada kaum buruh?

You know what, kalau kamu seorang pengangguran kelas berat, kamu nggak bakalan perduli dengan perusahaan yang kamu lamar itu menerapkan undang-undang atau tidak.

Apalagi kalau kamu cuman sarjana dengan nilai pas-pasan dan nggak punya keahlian khusus. Kamu kerja di kantor ber-AC tapi dengan gaji minim itu sudah lompatan besar bagi kamu yang ngganggur bertahun-tahun jadi parasit bagi bapakmu.

Apesnya lagi kalau bapakmu orang terhormat di kampung. Dia bakalan sungkan kalau punya anak berstatus pengangguran. Akhirnya demi martabat, kamu harus berstatus kerja. Pokoknya bagaimana caranya tetangga kanan kirimu tahu kalau kamu sudah bekerja, persetan dengan undang-undang tenaga kerja.

Kalau kamu ndlahom, ojok nuntut macem-macem. Kerjo ae sing mempeng, Insya Alloh Tuhan akan merubah nasibmu. Begitulah hukum alam berlaku. Siapa yang kerjanya lebih banyak, dia yang akan dapat lebih banyak. Cuman jangan diartikan linear, "banyak" di sini tidak selalu berarti uangnya lebih banyak. Walau bisa berarti begitu.

Yang jelas, mereka yang kerjanya lebih giat jam terbangnya semakin tinggi, kedewasaannya semakin mumpuni, skill-nya semakin dahsyat, kesabarannya semakin mantap, dan seterusnya. Nggak ada yang sia-sia, semua ada hasilnya.

Jangan salah paham, aku nggak anti demo. Cuman nggak suka dengan demonstran bego. Mereka yang menyuarakan pendapat tapi merusak fasilitas umum, bahkan pribadi. Silahkan saja sampaikan aspirasimu : teriak misuh-misuh sampai bibirmu kaku, mogok makan sampai sekarat, atau cara lain. Sakarepmu.

Cuman ingat, jadi mahasiswa itu jangan geer. Jangan merasa jadi agent of change. Nggak perlu kujelaskan, suatu hari nanti kamu akan paham sendiri. Semua akan lucu pada waktunya.

Yang dulu pas jadi mahasiswa mati-matian demo menuntut dihapusnya undang-undang yang mencurangi rakyat, eh sekarang setelah jadi pemangku kebijakan malah bikin undang-undang serupa. Iki ya'opo se. Agent of change my ass!

Jangan dipikir Soerharto lengser itu karena gerakan mahasiswa. Bagi Soeharto, menghadapi mahasiswa itu mudah. Dia punya pasukan yang loyal , yang siap dengan tank dan meriam untuk mempertahankan kekuasaannya. Dengan sekali perintah, mahasiswa bisa kocar-kacir nggak karu-karuan. Tapi itu tidak dilakukannya, karena Soeharto nggak mau berperang dengan bangsanya sendiri. Sama dengan Soekarno yang mau lengser karena nggak tega melihat sesama anak bangsa saling bunuh.

Silahkan teruskan saja demonya, mumpung ibukotanya masih di Jakarta. Bakalan repot kalau sudah pindah ke pedalaman Kalimantan. Untuk berdemo di depan istana presiden saja harus mengarungi lautan, menyusuri sungai, menyeberangi rawa-rawa dan masuk keluar hutan dulu. Belum demo sudah babak belur duluan. Gile loe Ndro.

Aku nggak pro UU Ciptaker, tapi nggak suka berlebihan menyikapinya. UU harusnya memang memihak rakyat. Jangan sampai hanya menguntungkan pengusaha. Tapi jangan terlalu yakin kalau semua perusahaan mau menaati undang-undang yang berlaku. Kenyataan di lapangan itu mengerikan kawan.

Aku khan sudah bilang kemarin, baik buruknya UU tenaga kerja itu tergantung pada pengusahanya. Kalau pengusahanya punya akhlaq, dia akan memperlakukan karyawannya dengan baik dan layak. Tapi kalau pengusahanya bajingan, karyawannya pasti runyam dan tertekan.

Kalau bisa memilih, semua orang nggak akan mau memilih menjadi buruh. Jadi buruh itu karena terpaksa. Soale diapak-apakno pengusahalah pemenangnya. Memangnya kalau gajimu nggak sesuai UMR terus kamu bisa dengan mudah minta kenaikan gaji? Nggak semudah itu Mboel. Reseh soal gaji malah dipecat. Cari kerja lagi nggak mudah. Anak istrimu bakalan kurang gizi.

Pengusaha memang bukan Tuhan, tapi posisi buruh itu posisi yang kalah. Dan apesnya oknum pengusaha itu bisa dengan mudah mengebiri undang-undang karena dia punya uang. Gawat. Makanya kalau bisa jangan jadi buruh!

Bla bla bla..sudah ini saja, besok lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun