Orang yang mengotak-atik, membahas dan mendebatkan Pancasila itu orang yang kurang kerjaan. Kalau Pancasila sudah final harusnya sudah nggak diomongin lagi. Tinggal dilakoni saja.
Hanya guru PMP (saiki jenenge opo yo) yang masih mbahas Pancasila di depan kelas bersama murid-muridnya. Kalau kita-kita sudah khatam soal Pancasila. Walau lebih banyak teori daripada prakteknya. Gak popo, sing penting gak ngisruh dan berusaha terus-menerus untuk jadi baik. Kita bukan keturunan malaikat.
Orang yang merancang RUU HIP (Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila) yang bikin polemik itu memang nggak ada kerjaan. Bisa jadi mereka sungkan, bergaji besar tapi kerjaannya sedikit. Akhirnya dibikinlah rancangan undang-undang baru soal Pancasila itu.
Seperti ustadz yang ditugasi mendampingi calon haji saat manasik. Doa haji yang sebenarnya pendek dan mudah malah dipanjang-panjangkan. Ustadznya sungkan karena dibayar mahal (plus gratis ke Mekkah) tapi kerjanya enteng. Calon hajinya pun mumet ndase, karena sudah banyak yang mulai pikun.
Pancasila sudah final karena sudah teruji. Sudah berkali-kali terbukti Pancasila gagal digulingkan sejak negeri ini merdeka 75 tahun yang lalu. Nggak perlu diotak-atik lagi. jadi berhentilah ngomong Pancasila. Dilakoni ae, gak usah kakean teori.
Malah banyak rakyat Indonesia yang nggak paham teori Pancasila, tapi hidupnya sangat Pancasila. Lha wong Pancasila itu adalah pengejawantahan dari rakyat Indonesia. Khususnya rakyat desa jelata yang masih menjunjung tinggi budaya negeri. Kalau rakyat golongan menengah ke atas sudah banyak yang lari dari budayanya sendiri. Kalau nggak ke Barat ya ke Arab.
Tapi gak popo. Karena kebanyakan dari mereka itu cuman ngambil kulitnya saja. Nggak benar-benar lari dari dirinya. Cuman buat gaya-gayaan tok. Sekali-kali ke Starbuck nyicipi kopi yang sebenarnya rasanya nggak masuk selera mereka. Lha wong biasanya minum kopi sasetan atau jenis kopi yang dicampuri jagung. Alaa raimu.
Dan nggak perlu juga ngaku-ngaku paling Pancasila. Orang yang bilang "Saya Pancasila" atau "Saya Indonesia" itu orang yang ingin dapat pengakuan. Bisa jadi mereka malah orang yang nggak yakin-yakin amat kalau dia itu Pancasilais. Karena wanita yang percaya kalau dirinya cantik nggak akan nambahi kata "cantik" di akhir namanya.
Jargon-jargon seperti itu  biasanya diciptakan oleh tukang sablon, juragan kaos, bakul stiker dan merchandise lainnya. Yo gak popo dituku, itung-itung sodaqoh
Wis gak taek-taekan rek, kalau kamu memang Pancasilais, nggak usah ditunjuk-tunjukan, cukup lakukan perbuatan baik. Karena Pancasila adalah subtansi dari segala perbuatan kebaikan. Agama apa pun bisa sejalan dengan Pancasila. Dari agama resmi maupun agama lokal peninggalan nenek moyang.
Bahkan rakyat Indonesia itu lebih dari Pancasila. Nggak usah muluk-muluk jadi Garuda, jadi Emprit saja nggak masalah. Bisa bahagia dengan itu. Sehari dapat penghasilan lima belas ribu ya  cukup. Dapat sepuluh ribu ya lumayan cukup lah. Dapat  cuman lima ribu ya dicukup-cukupkan. Daya survive-nya dahsyat dan neriman.
Rakyat Indonesia itu disuruh-suruh bosnya ngerjakan kerjaan yang nggak sesuai dengan job deskripsinya pun mau-mau saja. Bahkan malah dilakukan dengan sepenuh hati. Ya'opo maneh, sekarang cari kerja susah. Mungkin secara materi mereka dirugikan. Tapi sebenarnya lebih banyak labanya. Laba kesabaran, laba jam terbang, laba ilmu, laba pengalaman, laba-laba.....minimal dapat makan siang gratis (kalau ada). Kok repot se kon iku.
Bukannya rela jadi budak, tapi ada saatnya kita perlu waktu menyusun strategi sebelum akhirnya hengkang dan menentukan pilihan hidup yang kita mau. Urip iku dipikir enteng ae lah. Ojok kakean nyawang nang nduwur. Iso kesandung, ndelosor, lambemu nyonyor ketatap aspal.
Wis yo, ojok mbahas Pancasila maneh. Bosen.
-Robbi Gandamana-
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI