Mohon tunggu...
Robbi Gandamana
Robbi Gandamana Mohon Tunggu... Ilustrator - Ilustrator

Facebook : https://www.facebook.com/robbi.belumfull -------- IG : https://www.instagram.com/robbigandamana/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

India Perlu Belajar "Ngalah" ala Orang Jawa

11 Maret 2020   11:44 Diperbarui: 12 Maret 2020   12:12 5119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Iya. Memang nggak ada salahnya kalau ada petinggi negeri ini yang bilang, semestinya India belajar toleransi dari Indonesia. Karena bangsa ini punya kearifan lokal yang bernama ngalah. Di negeri manapun nggak ada istilah ngalah atau mengalah.

Ngalah itu terjemahan Inggrisnya bukan "relent". Gak cocok Doel. Di dunia modern nggak ada orang yang mau ngalah. Dalam hal apa pun harus sama-sama menguntungkan. Ngalah itu ikhlas dirugikan. Kalau pun kalah, itu karena terpaksa.

Sejak kecil selalu didoktrin "you'll be number one". Pokoknya harus menang. Ngalah itu nggak cool. Akhirnya nggak heran kalau di dunia Barat ada istilah "nice guy finish last". Curang sedikit nggak papa yang penting menang.

Dalam soal ngalah, kita pemenangnya. Walau saat ini mulai luntur, sejak aliran kaku dari negeri onta merebak. Yang dikit-dikit bid'ah, dikit-dikit kafir. Bahkan sesama Islam disesat-sesatkan. 

Mereka-mereka yang tercerabut dari akar budayanya sendiri. Tongkrongannya Arab abis. Ngajinya lebih fasih dari orang Arab. Cuma irunge pesek. Arab maklum lah.

Kalau di suatu wilayah ada banyak aliran seperti itu, biasanya saat agama lain mendirikan tempat ibadah bakal dipersulit. Bahkan melakukan peribadatan di rumah sendiri pun diprotes. Rupanya mereka belum tahu (atau lupa) kisah kearifan Sunan Kudus.

Contoh toleransi (ngalah) yang dahsyat dicontohkan oleh Sunan Kudus yang menghimbau umatnya untuk tidak makan daging sapi. Diganti daging kerbau saja. Karena saat itu banyak penganut Hindu yang mensakralkan sapi persis kayak di India. Sapi dianggap sebagai ibu pertiwi yang memberi kesejahteraan.

Maka nggak heran kalau di sana sapi dielus-elus, dicurhati, "Buk utangku akeh bla bla bla...tulung salamno nang Dewo yo..Dewo 19." Woeee, iku band le.

Orang Jawa kalau sama sesepuh atau orang yang dituakan itu manut. Nggak heran kalau sampai sekarang di Kudus masih ada yang nggak berani makan daging sapi. Takut kualat. Mangan daging sapi langsung raine koyok sapi, metu buntute.

Padahal anjuran Sunan Kudus hanya berlaku saat itu -itulah kenapa ada dalil yang sifatnya kontekstual, sesuai zamannya-. Lagian daging sapi dan kerbau itu rasanya hampir sama. Sing penting ojo lali moco "Bismillah..kolu ra kolu untalll.."

Seandainya Sunan Kudus nggak ngajak umatnya ngalah, bisa jadi akan terjadi konflik kayak di India. Kerusuhan yang dioplos dengan penjarahan oleh para kere hore yang memanfaatkan situasi.

Tapi konflik di India nggak cuman soal ritual ibadah yang crash. Penyebab lainnya adalah penyebaran Islam di India itu melalui jalan penaklukan. Menyebarkan agama kok ngancam pakai pedang, "Islam atau mati!"

Cara seperti itu jelas "nggak aman", menimbulkan dendam abadi. Kayak penyebaran Islam di Spanyol di zaman Khalifah Al Walid yang dipimpin Thariq bin Ziyad.

Nggak heran saat Islam kalah di Spanyol dalam Perang Salib, Muslim di sana dibantai habis. Pembalasan lebih kejam men. Salahe sopo.

Berangkat dari "dendam lama" itulah akhirnya Perdana Menteri Narendra Modi menerbitkan Undang Undang Amandemen Warga Negara yang anti Islam. 

Undang-undang yang memudahkan imigran Afghanistan, Pakistan dan Bangladesh mendapat kewarganegaraan India kecuali yang Muslim. Muslim dipersempit ruang geraknya agar tidak jadi mayoritas.

Beda jauh dengan penyebaran Islam di Nusantara yang disebarkan dengan cara yang penuh hikmah, damai, tanpa kekerasan. Cangkrukan karo ngopi-ngopi. Memanfaatkan seni dan budaya. Cerita wayang disusupi dalil. Wayang kulit aliran Sunan Kalijaga itu kontennya beda dengan wayang kulit yang asli.

Walisongo mengajarkan Islam tidak langsung ndalil. Zaman dulu orang Jawa masih kesulitan ngomong Arab. Akhirnya bahasa Arab pun di-Jawa-kan. Syahadatain jadi sekaten, kalimat syahadat jadi kalimasada, ghafura jadi gapura, dan banyak lagi. Dengan begitu ketika orang Jawa jadi Muslim, mereka tidak kehilangan kesadaran dan jati diri sebagai Jawa.

Nggak cuman lewat wayang kulit, dalil atau ilmu-ilmu kehidupan juga disisipkan atau dijadikan lagu anak-anak oleh Sunan Kalijaga. Ini brilian, karena lagu anak-anak itu abadi. Sekilas lagunya seperti tembang dolanan anak-anak pada umumnya, padahal makna liriknya dalam sekali.

Kalau kamu pengangguran kelas berat, simak saja lirik lagu "Lir Ilir" atau "Gundhul Pacul". Kalau tetap nggak bisa menemukan makna yang terkandung di dalam lagu "Gundhul Pacul", bisa jadi gundhulmu perlu dipacul.

Wis ah.

-Robbi Gandamana-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun