Pemilu sudah kelar tapi ndukung mendukung masih berlanjut. Masih ada dikotomi kampret dan cebong. Kalau setuju dengan kebijakan Jokowi dikira cebong tapi kalau ngritik dicap kampret. Urip cap opo iku. Wong ngono iku perlu ditayamum karo sandal jepit. Opo wudhu karo soda api.
Manusia memang susah mencapai level brahmana. Mentoknya di level satria. Seneng banget kalau saingannya jatuh. Pendukung Prabowo bersorak bahagia kalau Jokowi kena masalah. Momen Jokowi menyetujui revisi UU KPK dimanfaatkan banget oleh Kampret untuk membully Cebong. Padahal kalau Prabowo jadi presiden, nggak mesti nggak setuju revisi UU KPK.
Tiap ada bencana yang disalahkan Jokowi. Menterinya nggak disalahkan, gubernurnya aman-aman saja. Kadang-kadang aku kasihan sama Jokowi, disalahno ae. Gak melok mbakar hutan tapi disalahno. Muduno ae Wi. Dodol kayu malah uripmu ayem. Ngurusi wedus-wedus iku tiwas awakmu legrek, rambutno mbrodol, memble jaya.
Cebong dan Kampret akur hanya saat ada pertandingan sepak bola Indonesia lawan Malaysia. Kalau lawannya Malaysia, mendadak rasa nasionalisme memuncak. Nggak ingat lagi soal Pilpres, Pilgub juga Pilkoplo. Nggak ada lagi Cebong dan Kampret. Yang ada hanya Indonesia. Makanya sering-sering saja diadakan. Soal kalah menang nggak penting. Sing penting tiket sold out.
Mendukung Jokowi atau Prabowo nggak masalah. Asal nggak membabi buta. Kalau kamu jujur pada hatimu, asline nggak kabeh kebijakan presiden pilihanmu cocok karo raimu. Soal kenaikan tarif listrik, Â reklamasi, BPJS, KPK dan lainnya. Cuman awakmu pandai bersyukur dadi yo nrimo ae. Sukurrr rasakno kono.
Aku kemarin sudah nulis, kalau sama politikus jangan berharap terlalu tinggi. Politikus is politikus. Politikus jangan diharapkan jadi satrio piningit. Nggak ada politikus yang jadi satrio piningit, yang ada satrio fucking shit.
Kebijakan presiden terkadang tidak dari hati nurani, tapi karena hutang politik, karena kepentingan partai politik, dan seterusnya. Nggak bisa seratus persen dari hati dan pikiran sendiri. Lha wong sudah jadi presiden masih ngurusi (terikat) partai politik. Partai politik cuman alat untuk menuju kursi presiden. Kalau sudah jadi presiden, harusnya fokus hanya rakyat yang diurusi.
Jangan berharap banyak pada presiden, apalagi DPR. Juga jangan terlalu berharap pada KPK. Kamu akan linglung kalau suatu hari ternyata mereka gemblung. Ingat kata Ustadz, "berharaplah hanya pada Tuhan." Karena hanya Tuhan yang sanggup ndadani Indonesia.
Kalau dipikir bener-bener, negara ini semakin bingung. Sebut saja soal BPJS. BPJS itu khan sebenarnya sedekah (sedekah si sehat untuk si sakit), bukan asuransi atau pajak. Masalahnya sedekah kok pasang tarif, dipaksa dan ada sanksinya (kalau nggak ikut).
Yang sakit-sakitan pasti senang dengan program ini. Yang sehat-sehat saja tapi setor terus, yo rodok misuh-misuh. Gak iso dicairno Ndes.
Kalau BPJS itu sedekah (program sosial) harusnya nggak ada istilah defisit. Defisit itu istilah dagang. Sedekah bukan dagang. Kalau ada istilah defisit, berarti pemerintah cari laba atau nggak ikhlas menyehatkan rakyatnya.
Sudah lumayan rakyat mau ngasih sedekah. Kok masih mengeluh defisit. Harusnya negeri sekaya ini nggak perlu BPJS pun bisa menggratiskan kesehatan untuk rakyatnya.
Sing ngeluh maneh program KIS (Kartu Indonesia Sehat). Banyak yang salah sasaran. KIS ini untuk orang kere, tapi yang tergolong mampu malah dapat kartu KIS. Karena pak RT-nya "budiman", semua warganya harus dapat kartu KIS walau tergolong mampu (mobile Avanza, omahe tingkat telu, sawahe dikeramik).
Bakalan ngelu nek mbahas BPJS, JKN, KIS, KJS, Jamkesda, Jamkesmas, Jamput. Ujung-ujungnya cuman cari laba bla bla bla bla utekmu gak mungkin loading. Kesimpulane. Jangan sombongkan Jokowimu atau Prabowomu. Siapapun presidennya, sama saja. Semua soal rugi laba.
Uwis.
-Robbi Gandamana-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H