Dan aku merasa semua kritikan itu sangat cocok untuk tulisanku. Eh, tapi aku bukan penulis ding, cuma ilustrator. Dan aku lebih senang disebut tukang gambar daripada penulis. Dan nggak berharap pengakuan juga.Â
Sakarepmu nganggep aku opo. Juga nggak terobsebsi untuk membukukannya. Boleh juga kalau dibukukan. Tapi itu lebih pada mempigura karya. Â Bukan soal laku dijual atau tidak.
Nulis yo nulis ae. Menyebarkan kebaikan dan kegembiraan. Jangan menulis hanya karena ada reward-nya. Jangan rendahkan martabatmu. Reward itu efek samping, bukan yang utama.
Jangan terlalu reseh soal teknis. Iku iso dipikir karo mlaku. Pakailah bahasa yang kamu bisa. Justru tulisan yang kickass itu yang nyeleneh dan itu bisa menembus kaidah yang berlaku. Ojok percoyo karo dosen linguistikmu, redakturmu, opo maneh karo aku. Percayalah kamu lebih hebat dari mereka. Yakin tapi ojok sombong. Sepak ndasmu.
Kalau sudah punya banyak pembaca setia, kognitif itu nggak penting-penting amat. Sing penting atine nyambung. Misuh pun jadi menggembirakan. Dan itu gagal disebut misuh.
Ingat pesan Kahlil Gibran, "Jika makna yang yang kita sampaikan atau keindahan yang kita ungkapkan menuntut kita melanggar aturan, langgar saja. Jika tidak ada kata yang tepat untuk mewakili ide yang kau pikirkan, ciptakan sendiri atau ambil dari mana saja. Jika tata bahasa menghalangi penggunaan ekspresi yang efektif, jangan peduli tata bahasa."
Ada kemauan pasti ada jalan (sok bijak Ndes). Tapi perlu bakat juga sih. Nek bakate angon wedus yo rodok abot. Nek abot yo tumpakno becak. Embuh wis.
Wish ah. Asline tulisan iki untuk menyemangati diriku sendiri. Ojok ngomong sopo-sopo.
-Robbi Gandamana-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H