Mohon tunggu...
Robbi Gandamana
Robbi Gandamana Mohon Tunggu... Ilustrator - Ilustrator

Facebook : https://www.facebook.com/robbi.belumfull -------- IG : https://www.instagram.com/robbigandamana/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Negara Darurat

30 April 2019   09:52 Diperbarui: 30 April 2019   15:21 523
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebenarnya ini late post. Karena sudah lama aku ingin nulis ini setelah nonton film "Sexy Killer". Tapi nggak masalah, masih aktual dengan kondisi sekarang. Dan ini bukan review film tersebut. Ya sudah langsung saja. Paling yo gak diwoco.

Negara Indonesia memang negara darurat. Sistem pemerintahannya darurat, pejabatnya darurat, wakil rakyatnya darurat, hukumnya darurat, Pemilunya darurat, sistem pendidikannya darurat, pelayanan kesehatannya darurat, ekonominya darurat, banknya darurat dan banyak lagi.

Sepertinya negara, lha kok ternyata perusahaan. Karena urusannya cuman cari laba. Bendino nggolek bati ae. Semua harus transaksional. Membangun infrasruktur pun ternyata orientasinya laba.

Aku nggak nggumun kalau sekarang banyak jalan tol dibangun dimana-mana. Itu memang tugasnya pemerintah. Seorang presiden harus memprospek dirinya agar dipilih lagi di Pemilu berikutnya. Dadi rakyat ojok gampang geer Ndes.

Mbok sekali-sekali mbangun jalan yang bukan tol tapi kwalitasnya seperti jalan tol, yang semua jenis kendaraan boleh lewat tanpa bayar alias gratis. Itu baru hebat!

Kayak orang zaman doeloe (embuh zamane sopo) yang membangun candi Borobudur. Membangun fasilitas umum yang sama sekali tidak ada urusan dengan bisnis, nggak kembali modal, nggak transaksional. Padahal biaya pembangunannya bisa mencapai trilyunan rupiah. Wani nggak koyok ngono?

Tapi tetep Alhamdulillah ada banyak jalan tol, daripada nggak dibangun.

Banyak negara-negara Asia, termasuk Indonesia yang terobsesi Barat. Bahwa negara yang maju itu yang banyak gedung tingginya, banyak mall-nya, banyak jalan tolnya dan seterusnya. Masyarakat agraris dipaksa jadi masyarakat industri.

Rakyatnya diajari hedonis. Pemudanya gengsi jadi petani. Pembangunan tersentral di Jawa. Sawah-sawah ditanami ruko, pabrik, hotel, mall, jalan tol, perumahan, wahana wisata dan banyak lagi. Padahal konon tanah Jawa adalah tanah tersubur di dunia karena dikelilingi gunung berapi.

PLTU dibangun dimana-mana. Karena kebutuhan listrik meningkat dahsyat. Celakanya PLTU menggunakan batu bara sebagai bahan bakar untuk pembangkit listrik. Batu bara memang bahan bakar pembangkit listrik termurah, tapi efek sampingnya mematikan.

Warga di sekitar PLTU tentu stress. Banyak dari mereka yang akhirnya minggat daripada sekarat dan atau mati perlahan. Karena partikel dari polutan batu bara berkontribusi lima kali lebih besar dibanding polutan lain dalam membuat orang mati.

Ingat : "Membunuh satu orang (tanpa alasan yang benar) sama dengan membunuh umat manusia seluruhnya." Sialnya, negeri ini dibangun tanpa memperdulikan hal itu. Makanya rahmatNya belum menjadi barokah. Hujan yang harusnya berkah malah jadi petaka : banjir dan tanah longsor dimana-mana.

Belum lagi penambangan batu bara dilakukan di atas lahan rakyat dan atau di areal persawahan. Bekas galian tambang dibiarkan menganga tanpa reklamasi.  Alamnya rusak dan warga sekitarnya nangis Bombay. Karena sudah banyak korban (anak kecil) yang tewas tenggelam di lubang galian tersebut.

Negara ini berlandaskan Pancasila yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tapi karena terlalu sibuk mengejar kemakmuran akhirnya lupa keadilan.

Buat apa makmur kalau tidak adil. Lebih baik dapat sedikit-sedikit tapi semua ikut merasakan, daripada hanya orang tertentu yang merasakan. Jangan salah paham, aku bukan komunis, tapi pasti ada cara yang lebih baik. Aku gak eruh sing ya'opo. Keadilan adalah prioritas utama. Adil dulu, baru makmur. Kalau keadilan sudah beres, pasti kemakmuran akan datang.

Aku tidak sedang menjelek-jelekan Jokowi. Jokowi atau siapapun presidennya adalah korban. Korban dari sistem demokrasi yang dianut negara ini. Demokrasinya nggak salah, tapi pelakunya (oknum politikus) yang bajingan. Dan rakyat negeri ini hidup dari kesalahan-kesalahan politikusnya.

Zaman sekarang hampir nggak ada politik perjuangan, kebanyakan politik perdagangan. Jangan percaya kalau ada politikus yang bilang "ini demi Islam", "ini jihad". Taek.

Kepemimpinan di Indonesia ini cuman soal rebutan lahan. Untuk melanggengkan kekuasaannya penguasa harus berselingkuh dengan pengusaha. Ketika pengusaha bikin ulah, penguasa pun menutup-menutupi. Politik balas budi. Contoh yang gamblang adalah kasus lumpur Lapindo.

Di dunia perpolitikan di Indonesia terdapat raja-raja yang berkuasa. PDI dan sekutunya raja (ratu)nya Megawati, PAN dan sekutunya rajanya Amien Rais, Demokrat dan sekutunya rajanya SBY. Dan seterusnya.

Yo Alhamdulillah aku kemarin nggak jadi nyoblos. Disamping karena ada urusan, juga nggak nafsu ikutan nyoblos. Kalau pun aku jadi nyoblos, itu bukan urusan Pemilu tapi karena sungkan sama para petugas atau panitia yang sudah repot-repot menyiapkan tempat pencoblosan, sampai ada yang mati segala. Kerjo sak matine dibayar limangatusewu.

Pemilu itu bukan soal hidup mati. Bukan soal Islam atau tidak Islam. Ikutan nyoblos itu bagus, tapi memilih Golput juga nggak masalah. Seandainya semua orang Indonesia ini Golput, bangsa Indonesia ini tetap ada. Negara tanpa masyarakat, nggak akan jadi negara. Tapi masyarakat tanpa negara, tetap akan jadi masyarakat.

Sekarang ini Islam jadi alat jualan partai politik. Yang nggak mendukung partainya ditakut-takuti neraka. Padahal rival dari politikus tadi juga sama-sama orang Islam. Prabowo banyak menggaet Partai Islam agar dapat simpati dari umat islam. Jokowi pun mengimbanginya dengan menggaet seorang Ulama. Ulamanya kok ya mau. Emane rek.

Tapi memang alat cuci otak yang paling mujarab adalah agama. Semua kalau dibungkus agama jadi terlihat memikat. Hanya orang lugu yang memilih Capres karena pertimbangannya agama.

Sama lugunya dengan yang memilih Capres karena program BPJS. Kalau orang yang lemah dan sakit-sakitan, bahagia dengan program ini. Yang repot itu yang nggak pernah sakit tapi bayar iuran tiap bulan. Padahal gaji pas-pasan dan harus menanggung biaya iuran dirinya, istrinya dan anaknya yang banyak.

BPJS itu subsidi silang. Sedekah si sehat untuk si sakit. Tapi sedekah nggak bisa dipaksa. Rakyat kecil yang hidupnya serba pas-pasan kok dipaksa sedekah. Program BPJS itu program setengah hati. Kalau memang perduli pada rakyat kecil, gratiskan sekalian. Nggak usah pakai iuran tiap bulan sampai mati (dan nggak bisa dicairkan). Nggolek bati ae.

Negeri ini jauh lebih kaya dari Jerman atau negara yang pelayanan kesehatannya gratis. Jerman itu punya apa (dibandingkan dengan Indonesia) kok bisa begitu makmur. Makanya aneh bin ajaib kalau negeri sempalan surga ini punya masalah kemiskinan. Sing salah rakyate opo pemimpine. Kemiskinannya begitu melegenda.

Tapi asyike, rakyat oke-oke saja dengan keruwetan negerinya. Rakyat Indonesia itu gampang bahagia dan gampang jatuh cinta. Dikasih tol aja sudah bahagia banget, padahal lewat sana harus bayar. Negara yang begitu kaya ini, lewat jalan negerinya sendiri harus bayar.

Wajar saja kalau Cak Nun "out of the box" dari hiruk pikuk perpolitikan di Indonesia. Lha wong negoro isine nggolek bati ae. Negara dibangun dengan cara-cara yang syubhat (nggak jelas halal haramnya).

Tapi ojok Golput. Ojok niru Cak Nun. Semua ini darurat. Mungkin Tuhan nggak marah. Yo mungkin rodok bingung.

Sekarang ini yang haram saja sulit dicari, apalagi yang halal. Kalau terpaksa makan barang haram yo wis lah, gak popo. Lha wong darurat.

Bagus kalau kamu sudah bebas dari bank (yang menurutmu riba) dan nabung pakai celengan Bagong. Tapi juga nggak usah  koar-koar bank itu riba. Nyatanya kamu gajian juga masih lewat bank konvensional. Bank syariah juga sama saja. Syariah opo, syariah rentenir.

Ono wong sing nggaya resign dari tempat kerjanya di bank. Tapi konyolnya hasil kerjanya selama di bank didekap terus. Kalau menurutmu kerja di bank itu haram, ya sudah hibahkan mobilmu, rumahmu, atau semua yang didapat dari kerjamu di bank.

Tapi memang kalau ingin punya hati yang jernih, harus diperhatikan betul halal haramnya sesuatu. Karena kejernihan hati itu tercipta karena mengkonsumsi makanan atau apa pun yang halal.

Dadi nek atimu burek gak karu-karuan iku mergo kakean ngonsumsi barang haram. Nggak cuman makanan. Tapi bisa juga apa yang kamu lihat, dengar, dan kamu dukung. Mendukung seseorang atau golongan yang nggak jelas niate (apik opo ora) mending nggak usah mendukung. Tapi semua tergantung dari keadaan. Lha ya'opo, isone ngono.

Kalau hati nggak jernih, pikiran dan otak nggak stabil. Akhirnya gampang terhasut, gampang terpolusi berita-berita nggak jelas.

Koyok kasus Audrey wingi. Wong sak endonesyah ngamuk. Rame-rame menandatangani petisi. Dan ternyata hoax total. Aku sendiri nggak ikutan nimbrung, walau sempat marah juga. Karena sejak awal aku wis curiga pada pemberitaannya. Di situs-situs berita dikatakan pelakunya cowok, tapi foto-foto di kantor polisi kok pelakunya cewek semua dan wajahnya terlihat hepi-hepi.

Makane ojok ngeremehno Golput atau yang apatis dengan perpolitikan di negeri ini. Nek gak paham ojok kesusu ngenyek. Aku wani nulis ngene iki soale Pemilu wis rampung. Nek gak ngono engkok awakmu melok-melok Golput, tak kaplok ndasmu...huwehehe guyon mas. Cukup aku karo Cak Nun ae sing Golput.

Kadang orang yang cuek itu lebih "selamat" daripada yang memihak atau ikutan nimbrung di suatu kasus tertentu. Karena kuamati banyak yang terseret ikutan memaki, membully, menghujat, bahkan sampai memfitnah demi membela publik figur, tokoh masyarakat, dan atau sebuah ideologi. Catet.

-Robbi Gandamana-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun