Mohon tunggu...
Robbi Gandamana
Robbi Gandamana Mohon Tunggu... Ilustrator - Ilustrator

Facebook : https://www.facebook.com/robbi.belumfull -------- IG : https://www.instagram.com/robbigandamana/

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Belajar Kehidupan dari Film "Green Book"

2 Maret 2019   16:39 Diperbarui: 4 Maret 2019   07:36 653
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Kalau soal film, aku agak pilih-pilih. Film lawas nggak masalah, sing penting mbois. Film drama juga no problem, asal nggak drama Korea. Bukan karena apa, aku sering kali tersinggung kalau lihat film Korea. Nggak ngerti bahasanya. 
Bagiku film yang bagus itu harus mencerdaskan. Film super hero memang seru, tapi isine cuman bak buk bak buk baku hantam sampai nyonyor, nggak ada sesuatu yang bisa di bawah pulang. Sesuatu yang bisa menginspirasi. Menjadikan kita manusia yang lebih baik. 
Aku nggak anti film super hero, tapi film jenis ini bagiku cuman asyik di tontonan. Nggak mencerahkan. Jenis film yang mengajak "onani" berjamaah tapi tanpa orgasme. Kita diajak memasuki dunia imaji yang "wah", absurd  dan naif. 
Terakhir kali aku nonton film super hero, aku merasa ditipu luar dalam. Akhire kuputuskan, nggak super hero-super heroan. Aku nggak mau jadi Hulk. Aku nggak ingin jadi Superman. Nggak sopan, sempaknya dipakai di luar celana. Mending nonton film kartun (animasi). Sekalian naif (khayal) 100%. Menyalurkan sisi kekanakanku. 
Tapi itu semua soal selera, nggak bisa dipaksa sama. Yang aneh lagi itu penggemar film Horror. Kok mau-maunya mbayar untuk ditakuti-takuti. Sampeyan iku ya'opo se. Tapi setidaknya itu yang mengilhami Ozzy Ousborne Cs. menbentuk band rock Black Sabbath. Meramu musik rock dengan konten horror. Cari uang dengan menakut-nakuti orang. 
Banyak film bagus di tahun 2018 kemarin yang lumayan inspiratif. Yang masuk seleraku. Nggak sekedar seru. Sebut saja The Commuter, The Outsider, The Spy Who Damned Me, Red Sparrow, Papillon, Bohemian Rhapsody, Green Book dan banyak lagi. 
Bagiku yang terbaik adalah Green Book. Film ini masih anget. Diproduksi tahun 2018, tapi baru tayang di Indonesia bulan januari 2019 kemarin. Film yang recommended untuk ditonton. Cuma film drama, tapi dijamin tidak membosankan. Banyak pelajaran hidup yang bisa diambil dari kisah di film tersebut. 
Seperti  saat Dr. Don Shirley (Mahershala Ali)  mengkritik Tony Lip (Viggo Mortensen) yang tidak sanggup mengontrol emosi, memukul wajah polisi yang mengejeknya sebagai "separuh negro". Don Shirley yang tidak melakukan apa-apa jadi kena getahnya. Mereka berdua pun mendekam di kamar tahanan polisi. 
"Kau tidak akan pernah menang dengan kekerasan. Kau menang ketika kau menjaga martabatmu. Martabat selalu menang." kata Don pada Tony saat berada di kamar tahanan.  
Tapi untungnya Don Shirley punya kenalan pejabat penting (Robert Francis "Bobby" Kennedy). Mereka berdua pun dibebaskan tanpa syarat setelah Don menelponnya. 
Film ini menyorot rasisme yang terjadi di Amrik tahun 60'an. Dibumbui kisah persahabatan antara Tony Lip sopir yang semau gue dan Dr. Don Shirley seorang pianis khusus musik klasik keturunan Afrika yang  priyayi. Tingkah lakunya Islami. 
---Islami itu suatu sikap atau keadaan yang mencerminkan Islam. Walaupun non Muslim tapi kalau tingkah lakunya bener (sopan, jujur, mau antri, buang sampah pada tempatnya, dan banyak lagi) itu bisa dikategorikan Islami. Dulu pernah ada survei negara yang paling Islami. Ketika yang terpilih Irlandia, Muslim Kagetan pada ngamuk, "Ya'opo se! yang paling Islami yo Arab!" Oala repot mungsu arek cilik, gak paham kata---
Film berdasarkan kisah nyata ini cukup menghibur, karena diselingi dengan guyonan-guyonan elit khas Amrik. Persahabatan antara pianis negro dan sopirnya yang bule keturunan Italia memang aneh di Amrik saat itu. Budaya rasisme masih sangat kuat. 
Ketika berhenti di Lampu Merah, orang-orang melihat mereka dengan tatapan aneh. Karena jarang ada negro yang disopiri bule. Saat radiator mobil bermasalah di perkebunan kapas. Para buruh kapas (negro) banyak yang menghentikan pekerjaannya. Mereka terheran-heran melihat Tony memperbaiki radiator, sementara Don yang negro itu duduk rilek di jok belakang. Di zaman itu nggak ada bule yang jadi bawahannya negro. 
Sama kayak di Endonesyah. Bayangkan saja kalau ada orang Tionghoa jadi jongos dan bossnya wong Jowo. Rasanya kok fals.
Green Book sendiri adalah semacam buku panduan yang berisi daftar tempat penginapan khusus untuk orang negro (kulit berwarna). Seorang negro yang salah masuk hotel atau bar bisa babak belur dihajar oleh para Yankee (bule Amrik).
Walaupun semau gue, sebenarnya Tony Lip adalah pria keren yang bisa diandalkan. Punya tanggung jawab dan dedikasi  yang tinggi pada keluarga dan pekerjaannya. Seperti prinsip hidupnya : "Apa pun yang kau lakukan, lakukan seratus persen. Ketika kau kerja, kerjalah dengan sepenuh hati, ketika kau tertawa, tertawalah sepuasnya. ketika kau makan, makan seperti itu makanan terakhirmu."
Kisah berawal ketika Don Shirley membuka lowongan kerja seorang sopir. Berdasar rekomendasi dari seseorang, Don Shirley secara pribadi menelpon Tony Lip menawari pekerjaan itu. Tony Lip yang kehilangan pekerjaan karena klub malam tempatnya bekerja akan direnovasi, langsung tertarik. Awalnya menolak, tapi karena gajinya oke dan dia sendiri butuh duit, pekerjaannya pun diambil. 
Tony Lip nggak cuman jadi sopir tapi juga asisten pribadi. Tapi dia menolak disuruh-suruh melakukan pekerjaan babu : menyetrika baju, menyemir sepatunya Don Shirley. Dia hanya mau mengantarkan dari titik A ke titik B dan menjamin tidak ada masalah yang menimpa Don Shirley. Karena Tony Lip nggak cuman pinter nyupir, tapi juga bakat gelut.
Don Shirley adalah seorang negro yang beda dengan negro kebanyakan. Segala tindakan dan ucapannya mencerminkan seorang bangsawan, priyayi. Dia punya gelar Doktor pada Psikologi, Musik, dan Seni Liturgis. Lulusan perguruan tinggi ternama. Yang jelas bukan lulusan IKIP. 
Don Shirley belajar piano klasik di Leningrad Conservatory of Music. Khusus memainkan musik klasik dari Brahms, Franz Liszt, Beethoven, Chopin, Addie MS..eh, wong iki gak masuk itungan ding. 
Karena lama bergaul dengan kaum intelek dan priyayi, Don Shirley sampai nggak paham musik kaumnya sendiri (negro) seperti Chubby Checker, Little Richard, Sam Cooke, Aretha Franklin dan banyak lagi, paling awakmu yo gak paham.
Film iki mbois rek. Sangat recommended. Bersih dari adegan tak senonoh seperti kebanyakan film drama Barat. Jadi cocok untuk ditonton oleh remaja masjid. Ajaklah Habibmu nonton film ini. 
Wis ngene ae rek, mending langsung nonton ae. 
-Robbi Gandamana-

Detail Film :
Judul: Green Book
Rilis : 30 Januari 2019
Pemeran : Viggo Mortensen (Tony Lip), Mahershala Ali (Dr. Don Shirley), Linda Cardellini (istri Tony)
Sutradara: Peter Farrelly
Genre: Biografi, Komedi, Drama
Skor: 8.3/10 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun