Warung-warung murah di Solo biasanya banyak bertebaran di sekitar pabrik atau kampus. Tapi di dalam kampung yang jauh dari pabrik atau kampus juga ada. Para buruh pabrik dan mahasiswa sangat diuntungkan dengan keberadaan warung-warung sederhana itu.
Juga para mamah-mamah muda yang males masak. Tiap pagi selalu ada antrian panjang berjubel mamah-mamah muda beli sayur dan lauk doang.
Banyak pemilik warung sekitar pabrik membuka warung tujuan utamanya adalah rasa kemanusiaan, martabat dan atau juga status sosial. Uang adalah hal terakhir yang mereka perhitungkan.
Laba sedikit nggak papa sing penting ajeg. Dan mereka malah lebih laris dari warung-warung bergengsi di tengah kota yang sangat cermat perhitungan labanya. Kapok.
Semakin modern orang semakin nggak kenal manusia dan akhirnya nggak percaya pada manusia. Ada banyak kantin-kantin di kampus yang belum makan sudah bayar duluan.
Ambil makan antri berbaris menuju kasir dan bayar. Kalau di warung sederhana khan mangan sak kuate setelah itu baru totalan. Sama sekali tidak diawasi, ngambil tempe berapa, ngambil kerupuk berapa.
Fakta warung nggak cuman ekonomi, tapi juga ada fakta budaya, fakta kepercayaan, fakta kemanusiaan dan banyak lagi. Seandainya ditipu, pemilik warung mengembalikan urusan itu ke Tuhan. Dia masih punya keyakinan yang disebut kualat, ngunduh wohing pakarti, karma.
Bagi orang modern jualan adalah ekonomi, ekonomi adalah uang, uang adalah laba. Bahkan nggak rugi pun disebut rugi--> "Rugi aku nemu duit di jalan tidak aku ambil.." Rugi opo? Sing ilang duwike sopo?
***
Bakalan susah nasib para buruh pabrik atau mahasiswa kalau nggak ada warung sederhana. Â Nggak semua karyawan bisa 'tabah' bawa bekal makan dari rumah. Aku sendiri merasa 'konyol' kalau bawa kotak bekal makan siang ke kantor.
Bukan soal manja atau apa. Bayangkan saja kalau ada anak metal, rambut gondrong, Â tampang sangar, bawa kotak bekal makan siang bergambar Doraemon. Nggak mecing man. Itu pembunuhan karakter.