Aku nggak tahu, sejak kapan bangsa ini jadi bangsa yang inferior, merasa rendah diri, minderan. Hobinya memuja dan meniru negara Barat atau negara yang menyebut dirinya maju.
Kita itu punya karakter, budaya, etos kerja, ketahanan dan kondisi ekonomi yang berbeda dengan mereka. Jadi tidak semua hal bisa kita tiru. Seandainya ngeyel meniru pun nggak akan bisa sama persis. Diapak-apakno raimu iku yo koyok ngono iku, Rolex (risiko orang jelex).
Sistem zonasi di dunia pendidikan kita adalah salah satu kebijakan yang diadopsi dari negara-negara mapan. Oke, sistem zonasi sebenarnya bertujuan bagus : pemerataan anak cerdas, mengurangi kemacetan lalu lintas karena sekolah nggak jauh dari rumah, mempermudah pemerintah dalam pemetaan kebutuhan siswa di daerah, dan lainnya.
Tapi menurutku, sistem zonasi itu prematur kalau diterapkan di kondisi Endonesyah saat ini. Karena perlu bertahap untuk memberlakukannya. Benahi dulu mental pendidiknya yang korup (uang dan waktu), etos kerja yang payah, kualitas sekolah yang jauh dari layak di pelosok daerah, dan banyak lagi.
Benahi juga mental nepotis. Hapus aturan yang memberlakukan anak guru otomatis dapat satu poin. Juga anak dosen yang dapat jatah masuk PTN. Memangnya hanya guru saja yang berjasa pada negara. Semua bidang pekerjaan berkontribusi pada negara. Mau tentara, buruh, sopir, pemulung, semuanya berjasa pada negara.
Harusnya sejak jauh-jauh hari guru dari sekolah negeri favorit dioplos ke sekolah-sekolah kacangan, nggak cuman Kepseknya doang yang di-rolling. Setelah beberapa tahun terlihat hasilnya, baru sistem zonasi diberlakukan. Nggak seperti sekarang, banyak siswa jadi korban, kelinci percobaan.
Tapi bagaimanapun, kita ini beda dengan mereka. Rakyat Endonesyah itu jenis manusia fighter. Mereka terbiasa survive dari segala kondisi tanpa berharap pada negara. Bandingkan dengan mereka yang hidup di negara mapan. Di sana pengangguran saja digaji oleh negara. Sedangkan di sini, kerja keras pun gajinya kadang nggak layak.
Kalau di sini pengangguran digaji negara, mentalnya bakalan beda, nggak bakalan mumet lagi milih-milih sekolah. Sekolah mana saja nggak masalah. Karena jadi apa pun pasti dijamin negara. Hidup rileks tenguk-tenguk nyekeli manuk. Bodi melembung, perut mblendung menggelambir. Bangun pagi-pagi bingung, "Lho? Peliku nang endi yo?" (ketutupan weteng).
Di sini, orang kere membangun rumah reyot dari anyaman bambu (gedek) dibiarkan oleh negara. Sedangkan di negara mapan, mbangun rumah gedek reyot dilarang, karena merusak citra dan martabat pemerintah, bikin malu negara.
Kesejahteraan hidup di negara ini tidak dijamin. Salah satu harapan yang bisa merubah nasib atau mendongkrak status sosial ekonomi suatu keluarga adalah memberikan pendidikan yang tinggi buat anaknya. Pendidikan tinggi adalah warisan paling tinggi dibandingkan kebon jati.
Saya juga nggak suka dengan istilah "sekolah favorit" atau "sekolah unggulan". Karena semua anak berhak mendapat pendidikan yang layak. Sekolah tidak boleh membedakan anak pintar dan pandai. Tujuan anak sekolah itu biar pandai, lha kok syaratnya sekolah harus pandai. Anak disekolahkan biar bisa membaca, lha kok syarat masuk sekolah harus bisa membaca.