Salah satu yang membuat Islam di Endonesyah itu wasyik adalah tradisi Halal Bihalal atau Syawalan. Di Arab sana nggak ada. Dan ngAlhamdulillah sampai saat ini Syawalan masih belum dibid'ahkan oleh aliran sempit kaku mekengkeng.
Orang modern sudah kehilangan minat untuk berbasa-basi. Apalagi yang introvert. Mereka sungkan memulai (mengajak) salaman dan atau mendatangi rumah para tetangga. Beraninya cuman ngirim ucapan maaf lewat WA, fesbuk dan lainnya. Termasuk aku, jujur ae. Maka Halal Bihalal adalah solusi yang sip.
Orang sekarang (terutama yang di kota besar) begitu malasnya berbasa-basi, sampai menyapa tetangganya saat berkendara di jalan pun diwakilkan klakson. Jadi yang menyapa itu klaksonnya, tapi wajahnya tetep dingin tanpa ekspresi.
Tapi itu nggak masalah, nggak penting. Aku sendiri kalau di jalan raya, mataku nggak awas. Sering disapa, tapi nggak tahu siapa yang nyapa. Apalagi yang wajahnya diuntel-untel kain dan kaca helmnya yang gelap nutupi wajah. Steril banget, seolah-olah ada reaktor nuklir yang bocor.
Kembali ke soal Halal Bihalal.
Dengan Halal Bihalal, orang dimudahkan untuk saling bersalaman, bermaaf-maafan di satu tempat. Gendon yang biasanya plungkar plungker malu kalau berkunjung ke rumah tetangga pun pasti hadir saat Halal Bihalal. Juga cewek-cewek cantik yang jarang keluar rumah karena menghindari sinar ultra violet, biasanya akan muncul di acara tersebut.
Saya sebagai orang modern yang mulai terjangkiti penyakit apatis dan skeptis, sangat setuju ada Halal Bihalal. Karena praktis, ekonomis dan mbois. Nggak perlu keliling berkunjung dari satu rumah ke rumah yang lain. Dan Halal Bihalal bisa dioplos dengan acara reuni.
Tapi yang jelas, Halal Bihalal merupakan kegiatan yang cocok untuk membantu memudahkan para anti-sosial, kuper, introvert, pemalu, pendiam, apatis, epilepsi, down syndrome, ndlahom bersatu menjalankan ritual maaf-maafan.
Aku heran dengan organisasi atau paguyuban yang lebih mengutamakan acara Bukber daripada Halal Bihalal. Padahal momen Halal Bihalal itu jauh lebih istimewa dari Bukber. Organisasi kalau sudah bikin acara Bukber biasanya males mengadakan Syawalan. Sudah nggak mood lagi bikin kegiatan. Akhirnya Syawalannya insindental, sak onone uwong.
Kalau lokasinya nggak di masjid atau dekat rumah, acara Bukber bisa merusak kekhusyu'an puasa. Biasanya yang bukber di cafe, restoran atau tempat yang jauh dari rumah, nggak sempat shalat terawih. Karena waktunya mepet. Â (Tentu saja yang ini cara berpikir orang alim, dan saya nggak alim sama sekali.)
Nggak heran sebelum acara Bukber kelar, banyak yang kedandapan langsung cabut untuk mengejar shalat terawih. Salut, mereka menghargai bulan Ramadhan. Karena tahu, tahun depan nggak pasti dipertemukan dengan Ramadhan lagi. Mugi-mugi jembaro kubure.
Jujur saja, aku sendiri nggak suka acara Bukber. Seandainya aku datang, itu karena solidaritas pertemanan dan penghargaan pada panitia yang sudah capek-capek bikin acara. Seasyik-asyiknya bukber di restoran mewah, lebih mewah berbuka puasa dengan anak istri di rumah walau lauknya cuma tahu tempe.
Tapi sebenarnya tanpa ngomong dan salaman pun hati sudah bicara (memaafkan). Cuma rasanya kok nggak afdol kalau belum bicara dan bertatap wajah. Walau ada sebagian muslim yang menolak salaman dengan lawan jenis. Itu oke saja. Aku sendiri nggak masalah salaman dengan cewek. Yang penting niatnya, asal hati bertapa, nggak ada muatan syahwat. Tapi nek wedi ngaceng, mending ojok salaman.
Ya gitu dwech.
- Robbi Gandamana -
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H