Mohon tunggu...
Robbi Gandamana
Robbi Gandamana Mohon Tunggu... Ilustrator - Ilustrator

Facebook : https://www.facebook.com/robbi.belumfull -------- IG : https://www.instagram.com/robbigandamana/

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Rock Masuk Desa (Europe Live in Boyolali)

15 Maret 2018   15:58 Diperbarui: 16 Maret 2018   08:14 1528
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seandainya sekarang ada survei tentang seberapa banyak orang yang tahu tentang band Europe, saya yakin pasti anak zaman sekarang sedikit yang kenal band itu. Tapi kalau ada survei seberapa banyak orang yang tahu  lagu "Final Countdown", pasti banyak yang tahu. Itulah Europe, lagunya lebih ngetop daripada band yang memainkan lagu itu.

Ngomong soal band Europe, ada satu lagu yang paling favorit bagi saya. Lagu itu judulnya "Homeland",  ada di album "Prisoners In Paradise"(1991). "Homeland", satu-satunya lagu yang ngeblues dari Europe, band rock lawas asal Swedia itu. Bagiku, lagu ini nggak kalah keren dengan hits Europe yang lain. Tapi aku herman, kenapa lagu ini tidak pernah dimasukan ke album The Best atau Kompilasi.

Cabikan blues Kee Marcello di lagu "Homeland" memang mbois jaya----mengingatkanku pada permainan gitar Stevie Ray Vaughan---yang membuat lagu ini jadi 'bernyawa'. Apalagi dibumbui dengan sound keyboard rasa hammond organ, khas musik rock '70an.


Bagiku permainan (solo) gitar Kee Marcello lebih joss dibandingkan Jhon Norum. Jhon Norum adalah co-founder Europe yang hengkang justru saat Europe sukses besar dengan album Final Countdown (1986) karena beda agama eh, prinsip dalam bermusik. Menurut versi hoax-nya sih bau keringat Jhon Norum buadek pol, sehingga merusak konsentrasi para personel lainnya.

Kee Marcello sukses menggantikan Jhon Norum tanpa harus susah payah menepis bayang-bayang kemasyuran Jhon Norum. Jhon Norum sendiri lebih dulu jadi master gitar dan punya nama besar di blantika musik rock dunia, dibandingkan Kee Marcello yang sebelumnya adalah gitaris band glam rock Easy Action yang pamornya kalah jauh dibandingkan Europe.

Solo gitar Kee Marcello di album "Out Of This World" (1988) memang 'kickass'. Lagu "More Than Meets The Eye"  di album tersebut adalah salah satu lagu rock dengan solo gitar terkeren (imho).


Di tangan Kee Marcello, lagu-lagu cengeng Europe jadi lebih merasuk ke jiwa (ayee). Simak saja lagu "Coast To Coast", "Open Your Heart", dan tentu saja "Superstitious". Lagu "Tomorrow" nggak termasuk, karena lagu super mewek ini nggak pakai solo gitar, mungkin saat akan ngisi solo-nya di studio rekaman, Kee Marcello lagi di toilet, murus.

Sayangnya Kee Marcello menunjukan kesaktiannya di Europe, hanya di 2 biji album saja (nek album iku termasuk biji, buah, opo kuning  yo rek), yaitu album "Out Of This World" dan "Prisoners In Paradise".

Setelah album "Prisoners In Paradise", Europe menyatakan bubar jalan. Tapi Kee Marcello telah sukses menancapkan namanya dalam-dalam  ke sanubari fans sejati Europe. Sampai kapan pun, nama besar Kee Marcello di Europe tetap abadi, tak tergantikan.

Setelah kenyang mereguk kesuksesan album "Prisoners In Paradise"(1991), Europe memutuskan untuk leyeh-leyeh total dari kegiatan musik. Tapi ndilalah malah kebablasan jadi bubar. Sempat menggelar pertunjukan reuni dengan menampilkan formasi lengkap dari awal karier band ini di Stockholm, Swedia, tahun 1999. Jhon Norum dan Kee Marcello pun berada dalam satu panggung, sungkem.

Europe kembali bersatu di tahun 2003. Tahun 2004 merilis album "Start From The Dark" dengan formasi klasik : Joey Tempest (vokal), Jhon Norum (gitar),  John Levn (bass), Mic Michaeli (keyboard), dan Ian Haugland (drum). Kee Marcelo memutuskan untuk tidak bergabung, mungkin sungkan sama Jhon Norum. Di album ini warna musik Europe sudah berubah, lebih heavy dari album sebelumnya. Miskin lagu mewek khas Europe era klasik.

Berturut-turut setelah album "Start From The Dark", Europe merilis "Secret Society" (2006), "Last Look at Eden" (2009), "Bag of Bones" (2012), "War of Kings"(2015) dan "Walk The Earth" (2017).  Tapi nggak ada yang lebih hebat atau minimal menyamaikan kesuksesan album-album awal. Musike rodok ya'opo yo. "Ngomong ae rodok remuk Ndes, mencla-mencle ae kon iku."

Jadi sebenarnya tonggak kesuksesan Europe adalah album "Prisoners In Paradise". Setelah album itu grafik ketenaran Europe menurun terus, tapi bukan berarti Europe sekarat.

Kee Marcello punya insting yang bagus, dia menolak diajak bergabung setelah reuni dulu. Europe yang sekarang beda jauh dengan saat dia masih di band. Europe yang sekarang ini bagiku cuman mengais kejayaan masa lalu.

Tongkrongan personel Europe sampai saat ini tidak ada perubahan yang berarti. Rocker menolak tua---Tahu khan, rocker bisa awet muda karena tidak mau terikat pada kekakuan-kekakuan---Hanya Ian Haugland (drumer) yang sekarang jadi plontos, nggak gondrong lagi. Mungkin karena salah shampo.

Kabarnya Europe akan konser di Boyolali. Kalau nggak salah pada tanggal 12 Mei 2018. Dalam pagelaran Volcano Rock Fest. Tepatnya di Stadion Pandanarang. Bagi Europe, konser ini adalah peringatan 30 tahun album Final Countdown yang dirilis pada 26 Mei 1986. Wow, 30 tahun Ndes. Padahal tahun 1986 aku masih SMP kelas 1.

Dadi konangan nek wis tuwek rek. Ojok ngomong sopo-sopo yo.

Bagiku, konser Europe adalah salah satu suprise di tahun 2018 . "What!? Europe konser di Boyolali!? Enelan?"

Bagaimana nggak suprise, Boyolali yang dikenal sebagai sentra payudara eh susu sapi ini sebelumnya belum pernah diselenggarakan pertunjukan rock level internasional, paling banter konser dangdut koplo atau campursari. Kalau ingin nonton konser rock larinya ke Solo, Jogja atau Semarang. Jarang ada konser rock di Ngemplak, Nogosari atau Simo. Edan ya'e.

Europe dikenal di sini berkat kesuksesan album "Final Countdown" (1986). Semua lagu di album ini layak jadi hits, tapi orang awam musik rock tahunya cuma "Final Countdown",  paling banter "Carrie" atau "Rock The Night". Jarang yang kenal "Time Has Come", "Cherokee", "Love Chaser" atau "Heart Of Stone".

Lagu "Final Countdown" memang legend. Swejuk di kuping dengan riff keyboard yang megah nan klasik. Nggak cuman rocker yang suka lagu ini, anak TK pun suka.


Kalau ada istilah Internet Masuk Desa, mungkin konser Europe ini adalah Rock Masuk Desa. Boyolali memang bukan desa, tapi di sana masih menerapkan kearifan khas desa. Masih ada gotong royong, guyub,  rasa sosial yang tinggi, ramah, dan banyak lagi. Desa bukan berarti ndeso, olrait Ndes?

Musik boleh keras tapi hati tetap dangdut eh, lembut. Sugeng rawuh Europe.

-Robbi Gandamana, 15 Maret 2018 -

(dari berbagai sumber dan interprestasi pribadi)

themusic.com.au
themusic.com.au

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun