Kembali ke soal film.
Sebenarnya sudah pernah ada film Indonesia yang berbahasa Jawa (Malang), judulnya "Punk In Love" (2009). Film ini asyik-asyik saja sambutannya walau dialognya pakai bahasa Jawa kasar khas anak jalanan. Karena begitulah adanya anak punk. "Jancok", "taek" adalah bahasa keseharian mereka. Nggak cocok kalau dialognya pakai bahasa Indonesia dan sopan. Apalagi kalau pakai istilah ukhti' dan akhi. Itu bukan anak Punk, tapi Remaja Masjid.
Sudahlah, film Indonesia dengan dialog bahasa Jawa itu bukan masalah. Lha wong kita kalau nonton film Hollywood, Bollywood, atau drama Korea juga memahami dialognya lewat subtitle-nya. Kenapa sekarang jadi reseh mempersoalkan bahasa.
Kesimpulannya, film "Yowis Ben" menggunakan bahasa Jawa bukan karena sok Jowo, bukan rasis. Ini soal ekspresi cinta pada budaya sendiri. Dan tentu saja film ini bukan untuk tontonan babu. Jangan ikutan mem-bully kalau nggak paham maksudnya. Kadang orang yang ndlahom (atau tidak) itu terlihat dari kehidupan medsosnya. Orang yang suka mem-bully biasanya nggak kreatif. Isone cuman nyangkem all the way.
Persetan pakai bahasa Jawa, Inggris, Korea, Swahili, Sepanjang ada subtitle Indonesia yang menerjemahkan dialognya, urusan beres. Itu saja. Kalau tetap protes, bikin saja film sendiri. Nggolek enake tok ae kon iku.
Wis, ngono ae. Suwun.
-Robbi Gandamana-
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI