Kalau tujuannya takut kena najis, karena menyentuh tanah, ya diusahakan ukuran panjang celana nggak menyentuh tanah. Nggak cingkrang juga bisa to. Tapi kalau alasannya takut terkena najis, kenapa kaum wanita yang  berjilbab syar'i malah roknya menyentuh tanah, padahal kakinya sudah pakai kaos kaki.
Kalau ulama Arab mengharamkan celana yang menutupi mata kaki itu wajar. Mereka menghormati adat dan budaya mereka. Kalau di sini ya salah tempat. Bisa jadi malah salah kostum karena iklim, karakter geografis kita berbeda jauh dengan Arab. Dan juga negeri ini punya paradigma adat budaya yang berbeda dengan Arab.
Juga belum ada penelitian ilmiah yang menyatakan celana di bawah mata kaki itu nggak baik  bagi kesehatan. Seperti larangan seorang pria muslim memakai perhiasan emas. Karena atom pada emas mampu menembus kulit pria sehingga rentan terkena penyakit Alzheimer, jika dipakai dalam jangka panjang.
Banyak hadits yang terbukti secara empiris. Misal  larangan meniup makanan panas sesaat sebelum memasukan ke mulut karena udara yang kita tiupkan (karbondioksida) jika bertemu air akan menghasilkan asam karbonat. Jika asam karbonat masuk ke dalam tubuh bisa menyebabkan penyakit jantung.
Hadits lain yang juga terbukti empiris adalah boleh minum air minum yang kejatuhan lalat asal lalatnya ditenggelamkan di dalam air minum tadi. Berdasar penelitian ilmiah ternyata  ada obat yang berbahaya di salah satu sayap lalat, tapi sayap lainnya dapat menetralisirnya (dengan cara ditenggelamkan ke air).
Dan masih banyak lagi kedahsyatan ayat Qur'an dan Hadits yang sudah dibuktikan secara imiah. Hadits sendiri dihimpun 300 tahun sesudah hidupnya Nabi Muhammad. Berdasarkan katanya ulama ini, perawi itu. Jadi walaupun sahih masih harus diverifikasi. Kalau nggak masuk akal buang, pakai Al Qur'an saja. Apalagi di zaman itu tak ada alat perekam. Kata-katanya tidak sama persis seperti Al Qur'an yang pasti sama dengan perintah Allah.
Agama Islam jadi terlihat wagu karena kesempitan umatnya mengartikan ayat dengan sangat apa adanya. Kurang bisa memilah mana bahasa budaya, bahasa hukum, bahasa sastra, dan lainnya. Dipikirnya Al Qur'an itu kayak UUD '45, KUHP, Perda dan sejenisnya.
Orang yang berpendidikan tinggi (sekolah Islam) nggak bisa jadi ukuran bahwa agama mereka lebih benar. Yang lulusan Arab saja banyak yang meyakini ayat "Bahasa Arab adalah bahasa surga". Oala Jek Jekkk, dipikirnya Tuhan itu lulusan Sarjana Sastra Arab. Bagiku itu menuduh Tuhan Rasis atau diskriminatif pada bangsa selain Arab.
Kembali ke soal celana cingkrang. Sungguh konyol kalau meyakini Tuhan tidak menyapa orang yang celananya di bawah mata kaki di akhirat nanti. Ngapain Tuhan ngurusi model celana. Tuhan hanya perduli pada amal kebaikanmu, cintamu pada-Nya. Kecuali model kostum ibadah haji (kain ihram), itu Tuhan sendiri yang ngasih perintah dengan tujuan agar timbul rasa merendahkan diri dan hina dihadapan-Nya bla bla bla bla.
Dalam soal agama dan moral, orang yang paham agama tak bisa diukur dari lulusan perguruan tinggi Arab atau tidak. Ada orang yang pendidikan cuman lulusan pesantren kampung tapi ilmu agamanya lebih dahsyat dari yang lulusan Arab. Itu bisa terjadi karena paduan antara iman,lelaku, tirakat plus intelegensi yang luar biasa pada seorang muslim sehingga dianugerahi karomah oleh Allah, punya sidik paningal, waskita. Kalau cuman lulusan luar negeri tok, yo nggak njamin Jek.
Wis ah, saya menulis ini tak ada maksud menentang hadits atau ayat Allah, tapi lebih pada menggunakan akal daripada cuman membaca dan menghapal. Intinya gunakan hati, akal dan logika dengan benar. Untuk apa pakai Qur'an kalau tidak pakai hati, untuk apa pakai syariat Islam tapi tidak pakai akal?