Mohon tunggu...
Robbi Gandamana
Robbi Gandamana Mohon Tunggu... Ilustrator - Ilustrator

Facebook : https://www.facebook.com/robbi.belumfull -------- IG : https://www.instagram.com/robbigandamana/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Dongeng Rindu Merindukan Dongeng

9 September 2016   08:19 Diperbarui: 9 September 2016   20:12 644
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namaku Rindu, gadis ingusan beranjak dewasa. Seorang piatu hidup tersia-sia. Bunda tiada, Ayah pergi dengan lain wanita. Sekarang aku terlantar bersama nenek berdua. Hidup sederhana di lorong kumuh pinggiran kota.

Kuingat kala itu, aku masih SD kelas dua. Bunda tak ada uang, sakit bertahun tak kunjung sirna. Kanker rahim stadium lanjut, Bunda meregang nyawa. Meninggal dengan senyum di wajah, tinggalkanku dalam kemiskinan dan hutang berbunga.

Tangisku tumpah di tanah basah. Tak reda sampai berbulan lamanya. Gadis kecil yang masih tak bisa lepas dari Bunda, terlalu hijau untuk memahami hidup-mati yang tak pernah pasti, pastilah berat menerima kenyataan tragis.

Ah, memang hidup manusia tak bisa diprediksi. Ada yang sakit menahun tapi tak mati-mati. Ada yang sehat tapi tiba-tiba mati. Hidup pun tak ada hubungannya dengan mati. Hidup itu tugas manusia, mati urusan Tuhan.

Hidup terus berlanjut, tak ada guna terus meratap. Manusia disiapkan untuk selalu siap. Apa pun harus dilakukan, agar tetap bisa bertahan hidup. Karena hidup harus dihidupi.

Dan aku bersyukur, nenekku hebat, nenekku kuat. Walau tua tapi tidak usang. Di pasar jadi kuli panggul, memanggul karung atau kardus belanjaan. Seribu dua ribu dicukup-dicukupkan untuk makan.

Karena itulah Nenek harus hemat keras kalau ingin tetap bisa 'hidup'. Sering saat Nenek ke warung, berdusta jika aku akan ikut. Karena uangnya tak cukup untuk beli jajanan, bahkan untuk sebutir permen seratusan.

Ah, itu dulu... walau sekarang tak lebih baik, tapi setidaknya mental dan logikaku sudah sedikit matang. Aku sudah beranjak dewasa, sudah siap menaklukkan dunia.

Saat malam menjelang, saat sepi menyerang, saat itulah aku teringat saat-saat bersama Bunda: bermain di taman kota, kota-kota tanpa tujuan dan arah. Bahagia tertawa lepas dengan uang beberapa lembar seribuan saja. Sejenak lupa pada segala urusan dunia.

Tapi yang sangat sekali kurindukan adalah saat Bunda mendongengkan kisah. Seperti malam ini di peraduan, kubuka lagi lembar memori masa indah. Tiap malam kau dongengkan aku cerita. Tentang kodok yang menjelma pangeran gagah atau bidadari cantik bermata indah.

Bunda juga mengisahkan kisah kepahlawan yang sarat akan nilai-nilai kehidupan. Bawang Merah Bawang Putih, Cindelaras, Timun Mas,...dongeng anak negeri yang tak lekang zaman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun