Mohon tunggu...
Robbi Gandamana
Robbi Gandamana Mohon Tunggu... Ilustrator - Ilustrator

Facebook : https://www.facebook.com/robbi.belumfull -------- IG : https://www.instagram.com/robbigandamana/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pahlawan Wanita Bukan Kontes Ratu-Ratuan

28 April 2016   17:32 Diperbarui: 29 April 2016   16:14 1642
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Istimewa

Rupanya banyak orang bingung di jaman ini. Kurang kerjaan, membandingkan Kartini dengan Cut Nyak Dien, Dewi Sartika, Mama Hengki, Yu Sri, Bu Ratna.. embuh sopo iku. Lapo se rek, kok pikir iku kontes ratu-ratuan ngono ta?..raimu.

Kasihan Kartini, sudah jelas berjuang, masih saja dicari-cari kesalahannya. Begitulah masyarakat kita sekarang, sukanya mencari-cari kesalahan. Orang yang sudah shalat pun masih saja disalahkan. Dulu Nabi mencari-cari kebaikan orang dan didoakan agar masuk surga. Sekarang malah sebaliknya.

Orang sekarang sibuk ngurusi hal yang nggak prinsip. Hanya karena berbeda sedikit saja di teknis ibadah langsung musuhan. Seperti beda gerakan saat akan sujud, kaum yang satu  mendahulukan telapak tangan dan kaum yang lain mendahulukan lutut. Itu jadi pertengkaran dan perdebatan yang nggak ada ujungnya.

Padahal itu madzhab bukan agama. Agama itu ibarat kayu, madzhab itu kursi, meja, lemari dan semua benda yang terbuat dari kayu.  Banyak ustadz sekarang yang datang mengenalkan madzhab sebagai agama. Akibatnya gegeran terus, perang sama saudaranya sendiri.

Kembali ke soal Kartini...

Maqam manusia berbeda-beda. Cut Nyak Dien, Kartini dan atau siapa saja, punya cara dan gaya sendiri dalam berjuang. Kebetulan Kartini lahir dan hidup dalam budaya Jawa yang kolot, ningrat, priyayi, darah biru.  Gak koyok raimu, turunan darah tinggi, kudu ngamuk ae.

Karakter wanita Jawa ningrat jaman dulu nggak cocok kalau berjuang secara frontal, manggul senjata, masuk hutan keluar hutan. Bayangkan saja kalau Kartini pakai jarik (kebaya) kesana kemari bawa senapan keluar masuk hutan.  Gambaran seperti itu hanya ada di tayangan Opera Van Java.

Jadi jelas sekali, talent Kartini beda jauh dengan Cut Nya Dien. Isone Kartini yo ngono iku. Dan itu sudah joss gandoss, menginspirasi kaum wanita  negeri ini bangkit (walau emansipasi kadang sering kebablasan). 

Perjuangan yang dilakukan Kartini juga nggak semudah yang diremehkan orang-orang. Kartini berjuang mencerdaskan, meningkatkan martabat kaum wanita lewat jalur pendidikan. Cut Nyak Dien berjuang secara frontal,  dengan senjata di medan perang. Tujuan mereka sama--> untuk negeri yang lebih baik : merdeka!!!!..duh, ludahnya mas. 
Kalau saya pribadi lebih suka cara yang halus. Kalau ada cara yang lebih halus kenapa harus pakai cara yang frontal (asline gak iso gelut, jujur ae). Musuh dalam selimut. Diam tapi menghancurkan. Musuh yang nggak jelas malah lebih sulit dikalahkan daripada musuh yang jelas.Londo ngelu ndase, koyoke mungsuh tapi kok apikan.
Jadi ingat kisah seorang pembeli bensin eceran yang ingin tahu apakah bensin yang dibelinya bensin murni apa bensin campur (palsu). Si pembeli tidak menuduhnya secara frontal : "Bensinmu kok wernone kumuh? Ayo ngaku ae, bensin iki dicampur minyak tanah khan!?"
Itu terlalu beresiko, bisa terjadi pertumpahan darah. Ada cara lain yang lebih halus, elegan dan rilekssss. Yaitu mencari momen yang tepat, memanfaatkan kelengahan penjual bensin dengan memberikan pertanyaan pancingan.
Momen yang tepat itu biasanya saat penjual fokus (serius) menuangkan bensin ke tangki motor. Kalau nggak fokus, bensin bisa tercecer kemana-mana. Saat itulah si pembeli bertanya dengan ucapan dan gaya yang natural banget dibumbui dengan cengengesan ala kadarnya :
Pembeli : "Bensin iki campurane akeh nggak mas?"
Penjual  : "Sedikit kok mas.."(dengan tetap serius menuangkan bensin ke tangki)
Pembeli : "Oooo...berarti bensin iki nggak murni yo mas.."
Penjual  : "O_O @$*&??!!%#!!!!???? uasuuuu... konangannnn!".

***

Kita tahu, sejak Pilpres 2014 masyarakat kita terbelah menjadi dua. Masyarakat yang pro pemerintah (karena kandidatnya terpilih) dan yang kontra pemerintah. Masyarakat yang kontra inilah yang selalu mencari-cari kesalahan pemerintah. Sekecil apa pun akan di-blow up menjadi besar.

Untungnya saya golput, tak ada urusan dengan lover atau hater. Saya penonton yang menikmati lover dan hater eker-ekeran membela jagoannya mati-matian (padahal yang dibela tidak membela dia mati-matian) sampai putus hubungan teman. Goblokmu dewe.

Saya Kadang memuji Jokowi, kadang juga mengkritiknya. Begitu juga pada Prabowo atau yang lainnya.  Semua punya kelebihan dan kekurangan, namanya juga manusia. Nggak ada yang sempurna. Kalau ente terus-terusan protes, coba bertanya dalam hati, jika bertukar posisi dengan Jokowi (jadi presiden) apa ente sanggup?

Paling susah itu hater yang fanatik. Apa pun kebijakan pemerintah selalu direject, dicemooh, disinisi. Apapun itu pasti salah bagi hater. Dan itu merambat ke soal apa pun, termasuk hari Kartini. Mereka mempermasalahkan penganugerahan Kartini Juga mempertanyakan korelasi Hari Kartini dengan kewajiban memakai kebaya pada hari itu.  

Padahal kebiasaan itu sudah dilaksanakan jauh hari sejak negeri ini merdeka. Kenapa baru sekarang ente protes? Apakah karena kebaya tidak Islami? Daripada sinis terus pada kebaya, kenapa nggak cari solusi bagaimana kebaya bisa Islami.

Mereka menganggap Cut Nyak Dien lebih layak mendapatkan gelar seperti yang disandang Kartini. Karena Kartini menjalin persahabatan dengan orang Belanda (musuh) dan Belanda mencintainya. Wajar saja Belanda sangat membenci Cut Nyak Dien. Lha wong melawan secara frontal.

Apa salah Kartini berteman dengan orang Belanda? Walaupun Belanda adalah penjajah tapi tidak semua orang Belanda setuju dengan penjajahan. Seperti juga yahudi yang nggak semuanya Zionis. Malah ente yang lucu, Anti-Amerika tapi masih saja pakai Jeep Rubicon produk Amerika.

Kebanyakan yang mempermasalahkan Hari Kartini adalah situs-situs Islam.  Saya sebagai muslim tentu saja bingung. Ada apa dengan umat Islam sekarang? Sukanya mencari-cari kesalahan atau kekurangan orang dan melupakan jasa-jasanya.

Dalam soal nyali (berperang) Cut Nyak Dien mungkin lebih dahsyat dari Kartini . Tapi dalam bidang pendidikan, Kartini lebih baik.

Cut Nyak Dien berjuang membela rakyatnya (semua lapisan). Sedangkan Kartini perjuangannya lebih spesifik, membela kaum wanita. Jadi nggak usah dibanding-bandingkan. Keduanya menjalankan perannya masing-masing. Perjuangan Kartini diperingati pada Hari Kartini. Sedangkan Cut Nyak Dien pada Hari Pahlawan.

Yang perlu kita ingat, perjuangan Kartini adalah langkah awal bagi wanita negeri ini untuk lebih jauh melangkah dalam berkarya dan membuat inovasi untuk hidup yang lebih baik sejajar dengan pria bla bla bla bla bla bla.....nek diterusno aku iso dadi guru IPS.

Bagi saya nggak penting ngurusi kenapa nama Kartini lebih besar dibandingkan Dewi Sartika, Rohanna Kudus yang sama berjuang di jalur pendidikan. Memperingati Hari Kartini tidak berarti melupakan perjuangan Dewi Sartika maupun Rohana Kudus.  Mereka akan tetap dikenang. Dan siapapun yang akan diperingati, tetap akan dirayakan dengan kebaya! Oh God.

***

Teringat pesan orang bijak : Tak ada manusia yang lebih unggul. Kulit putih nggak lebih baik dari kulit hitam. Pribumi nggak lebih unggul dari Tionghoa, begitu pula sebaliknya. Kelebihan manusia yang satu adalah kekurangan manusia yang lain. Ada kaya, ada miskin. Mereka saling melengkapi. 

Wis ah..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun